Anton Jaya Widya

Yes, we are the red copywriters! But that is not what I want to share at the moment hehehe. Di sebelah kanan aku itu namanya Ako, yang di sebelah kiri … nah dia yang mau aku ceritain hari ini.

Namanya Anton Jaya Widya, dia dari Flores. Dia teman sekantor aku sekarang and yes he is an award winning copywriter. Badannya kurus karena udah ngegondol sekian metal award nasional dan sebuah bronze dari Cannes Advertising Festival hehehe. But then again, that is not what I want to tell you.

Anton itu senior aku waktu di UI. Dia anak Komunikasi ’95. Serius, dulu dia senior yang lumayan aku takutin. Ya iyalah, tampangnya begitu. Galak banget! Dan, … maaaaaan, he’s a smartarse! Nah, karena tampangnya ini nih dia itu punya hobi yang aneh banget. Sumpah, a.n.e.h banget. Hobinya itu, yaitu … ngerjain preman di bis atau di kereta! Maigat, … kurang aneh apa lagi, coba?

Suatu hari, dia lagi di bis dan saat itu jalanan macet berat akibat pendukung PSSI yang norak berdendang ria di tengah jalan dan mengacaukan lalu lintas. Tiba-tiba seorang pemuda dengan tampang sok belagu duduk di sampingnya. Cowok itu langsung melepaskan kaosnya dan terlihatlah tatto di lengannya. Melihat gelagat yang tidak menyenangkan (dan mungkin karena bau badan juga), Anton sontak menghardik lelaki itu. “Eh Mas, ngapain buka-buka baju? Mau pamer tato? Mau lihat tato saya?!” Kata Anton. Spontan laki-laki itu langsung merunduk dan memakai kembali kaosnya. “Enggak Mas, .. Enggak.” Katanya.

Di hari yang lain lagi, masih dalam bis kota, sebenernya dia lagi nggak terganggu amat sama suasana dan orang di sekeliling dia. Tapi, dia melihat ciri-ciri tertentu seseorang yang berdiri di pojokan dan berusaha menghimpit seorang ibu tua. Dengan santai Anton berjalan ke belakang, mensejajari tubuhnya dengan tubuh lelaki itu. Dengan nada datar dan dalam, dia bertanya ke lelaki tersebut “KTP mana?” dan tiba-tiba laki-laki itu merungkut dan langsung turun dari bis saat itu juga.

Karena tampangnya ini juga, Anton dikasih tugas khusus waktu dia magang di sebuah surat kabar terkenal ibu kota. Saat itu dia dikasih tugas oleh wartawan senior untuk mewawancara seorang preman. Brief dari wartawan seniornya begini:
“Nih, tadi malem ada mobil polisi di bakar di Tanah Abang. Elo sana ke Tanah Abang, cari daerah yang namanya Bongkaran. Kalo udah sampe situ, tanya tukang ojek atau siapapun yang ada di sana dimana rumah Hercules.”

Well, saat itu dia nggak tahu siapa itu Hercules. Jadi dia naik bis ke Tanah Abang, dan ternyata benar. Saat dia minta diantar ke rumah Hercules, ojek sewaannya benar-benar mengantar sampai di depan pintu rumah Hercules. Saat Anton bercerita, mataku menatap kagum ke arah Anton.
“Elo tahu siapa itu Hercules?” Tanyaku.
“Saat itu, enggak.” Balas Anton.
“Elo takut pas interview dia? Gimana rasanya? Elo digeledah kaya mau ketemu Don Corleone gitu nggak?” Tanya aku antusias.
“Hahahaha .. enggaklah. Gue juga nggak takut, mukanya sama kaya sodara-sodara gue kok.” Katanya sambil ngunyah gado-gado.
Sontak aku tertawa terpingkal-pingkal mendengar alasan Anton kenapa dia sama sekali enggak takut sama Hercules.
Trus gimana ceritanya? Tanyaku lagi.
“Ya gue bilang aja. Siang Bang, saya mahasiswa UI lagi magang di Koran “Ahem”. Mau interview abang untuk kejadian pembakaran mobil polisi semalam. Boleh kan, Bang?”

Seperti yang dia kira, Anton diinterogasi dulu tentang tanah kelahirannya. Saat itulah dia tahu apa alasan wartawan senior mengirimnya untuk menginterview Hercules. Sementara si wartawan senior itu lagi asyik-asyik di kantor. Kampret! Pikirnya.
“Polisi itu jangan macam-macam. Semua di sini harus minta ijin Hercules. Mau tangkap orang juga harus ijin Hercules. Mau kejar orang, harus kejar pakai mobil Kijang Hercules. Jangan asal main masuk dan main tangkap saja. Hercules punya bisnis cewek bisnis judi bisnis mengamankan orang-orang, Hercules juga bayar itu semua sama polisi. Hercules juga ikut bantu itu polisi, jadi jangan macam-macam.” Kutipnya.

Saat itu, mataku dengan penuh kekaguman mendengarkan ceritanya Anton.
(Halah, ... lebay ah Wury! Hahaha….)

Keisengan dia ngejailin preman berakhir karena suatu cerita. Hari itu dia lagi di bis, dan melihat seorang copet sedang beraksi merogoh tas seorang ibu-ibu. Seperti biasa, Anton segera menghampiri. “Eh, Mas!” Tegur Anton. Sontak, si copet itu langsung bergeser dan bergerak ke arah belakang. Tapi tiba-tiba, ia merasa terdesak oleh seseorang di belakangnya. Saat ia menengok, ternyata ia melihat sosok tubuh yang begitu besar, berdiri tanpa jarak di belakangnya. Lalu lelaki bertubuh besar itu pun bicara ke arahnya. “Jangan gitu. Kita sama-sama cari uang di sini.” Karena Anton merasa dia juga dikira copet, jadi dia bertingkah juga seperti copet. “Ya tapi liat-liat dong, bung.” Lalu lelaki itu menepuk pundak Anton dan berlalu pergi. 

Ya ya ya, kataku dalam hati. Enggak lucu sih mau nyelametin orang tapi kita jadi nggak selamet.

Di akhir penuturan tentang keisengannya, Anton ngejelasin kaya apa copet itu. Kata Anton, biasanya mereka itu menyamar kaya orang kerja kantoran. Tapi, bajunya nggak matching. Celananya pantaloon licin yang udah disetrika berkali-kali. Liciiin banget  sampe mengkilap di lipetannya. Trus, kemejanya gak matching juga. Lusuh gitu deh. Pake iket pinggang tapi nggak matching juga. Pake sepatu pantofel tapi udah buluk dan biasanya nggak pake kaos kaki. Tasnya juga nggak matching. Biasanya pake tas warna item tapi gede banget. Itu biasanya buat dia kalo beraksi pura-pura jatohin tas tapi trus tasnya dipake untuk ngiket atau ngegubet kaki si korban. Pas si korban keserimpet dan nunduk, diambil deh dompetnya. Trus kalo di jembatang penyeberangan yang remang-remang gitu, biasanya mereka pake jaket. Jalannya keburu-buru dan nempel-nempel elo gitu.

“Haaa, kapan-kapan gue mau dong jalan-jalan naek bis sama elo trus elo  kasih tau gue mana yang copet ya!” Kataku.

“Ayo!” Katanya.

Makan siang yang menyenangkan untuk hari ini, terima kasih untuk ceritanya ya kakak senior :)