Hijrah

Sebenarnya saya masih agak kurang sreg dengan judul di atas. Tapi ya sudahlah, belum nemu kata atau kalimat yang pas, sementara pakai yang ini dulu :) 

Jadi, salah satu wishlist terbesar saya dan Ariawan adalah pindah dari Jakarta. Kenapa? Untuk kualitas hidup yang lebih baik dan energy yang lebih positif.  Lucunya, kami berdua cukup akrab dengan hidup berpindah-pindah sewaktu kecil. Walaupun enggak terlalu hippie sih. 

Saya lahir dan tumbuh di Jakarta. Umur 11, saya dan mamah ikut bapak pindah tugas ke Palembang. Umur 13, kami pindah lagi ke pangkal pinang (pulau Bangka). Sayang bapak cuma ditugaskan di sana selama 2 tahun di sana lalu kita semua kembali ke Jakarta. Sampai sekarang.

Saya masih ingat malam itu. Dengan sangat hati-hati bapak memberitahu saya yang baru kelas 5 tentang berita kepindahan kami ke Palembang. Dan saya masih ingat raut wajahnya yang berubah lega saat saya berteriak senang karena berkesempatan pindah dari Jakarta.

“Mau, Uwie pindah?” Tanya bapak.
“Mauuuuu!” Kata saya tanpa berpikir lagi.

Saat itu saya membayangkan tinggal di rumah panggung yang terbuat dari kayu, persis seperti yang digambarkan di buku IPS saya mengenai rumah-rumah adat Sumatra. Tapi apaan, ternyata rumah yang kami tempati rumah permanen ‘biasa’. Di kompleks perumahan yang cukup moderen pula. Tapi yang namanya pindah ke kota lain selalu memberi pengalaman seru (walaupun kotanya enggak seseru yang saya bayangkan sih). Terus terang saya agak kurang ‘betah’ tinggal di Palembang. Jadi saat saya diberitahu yang ke dua kalinya tentang kepindahan kami ke Pangkal Pinang, tau dong reaksi saya: menyambut dengan suka cita!

Saya pindah ke Pangkal Pinang di semester ke dua kelas 1 SMP. Waktu itu, penerbangan Palembang – Pangkal Pinang hanya diakomodir oleh pesawat Garuda tipe F28 yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi. Itu pun harus transit dulu di Palembang.

Pertama kali saya menginjakkan di rumah dinas bapak, saya senang sekali. Di jalan Merdeka, letaknya. Rumahnya besar, di kompleks peninggalan belanda. Temboknya tebal, jendelanya lebar, langit-langitnya tinggi, lantainya dari keramik mozaik dan setiap ruangannya luas sekali. Saya bisa lari-lari di dalamnya. Halamannya juga besar, bapak bisa langsung bikin lapangan basket di belakang. Yang main tentu bukan saya, tiap Jumat malam halaman belakang selalu ramai dengan bapak-bapak termasuk bapak saya untuk bermain basket. Golf juga bukan sebuah olah raga mahal. Karena ada PT. Timah, lapangan golf bebas terbuka untuk siapa saja tanpa harus menjadi anggota dengan uang pangkal puluhan juta rupiah. Di sanalah saya belajar golf dan mendalami hobi saya bersepeda. Sebuah lingkungan yang sehat, dalam arti yang sebenarnya. Saya senang sekali, dan akhirnya menganggap Pangkal Pinang seperti kampung halaman saya sendiri.

Di Pangkal Pinang, saya sekolah di sekolah negeri. Berbeda dengan di Palembang dimana saya masuk ke sekolah swasta katolik. Saya langsung jatuh cinta dengan keramahtamahan di sana. Dan disana pula pertama kalinya saya ‘berkenalan’ dengan etnis cina. Dan sungguh, kali ini berbeda sekali dengan persepsi saya tentang mayoritas dan minoritas. Kami semua menyatu dan bermain bersama. Saking indahnya pengalaman itu, saya masih ingat beberapa nama teman-teman etnis saya: Mei Hwa, Men Kwet, Sian Kwet dan Ai Hwa. Saya masih ingat sekolah naik sepeda dan pramuka bersama mereka. Baidewei apa kabar yah Pramuka? Agak kecewa sekolah sekarang sudah jarang yang ada pramukanya lagi.

Ditambah lagi lokasi pantai yang cuma 5 menit dari rumah (naik mobil ya, kalau naik sepeda nggak kuat soalnya rutenya bikin gempor), pantai Pasir Padi namanya. Pantainya luas dan landai sekali. Saya selalu membawa anjing saya ( si Chocho) lari-lari dan berenang di sana tanpa takut tenggelam. Kejar-kejaran, persis kaya di film-film! Belum lagi aktivitas naek sepeda tiap sore naik turun bukit di lingkungan rumah. Sempet nyusruk dan berdarah-darah saking ngebutnya dan bikin nggak ikut senam pagi di sekolah keesokan harinya. 

Entah kenapa, walaupun saya sendirian di rumah sebesar itu (karena kakak-kakak saya lebih memilih tinggal di Jakarta), saya tidak pernah merasa kesepian. Untuk update musik, kakak saya sering kirim kaset (ciyeee 'kaset' loh!) dari Jakarta. Dia juga suka bikinin mix tape. Jaman itu lagi jamannya Too Legit To Quitnya MC Hammer (bwahahahaha). So yeah, ... bisa dibilang 2 tahun keberadaan saya di Pangkal Pinang adalah momen terindah dalam masa kecil saya. 

Saat bapak menyampaikan bahwa beliau dipindahtugaskan kembali ke Jakarta, aselik deh rasanya sedih banget. Saya sampe minta untuk stay aja di Pangkal Pinang dengan alasan nanggung tinggal setahun lagi saya lulus SMP. Ya kali deh, ... tentu aja nggak boleh.

Tentang Jakarta, perasaan saya waktu umur 15 dan perasaan saya di usia 35 sekarang ini tetaplah sama: M. U. A. K. Saya sadar manusia diberi kemampuan untuk beradaptasi. Tapi kenapa rasa yang satu ini enggak hilang-hilang ya? Bersepeda, berlari, persahabatan, tidak lagi memiliki arti yang sama. Bersepeda berarti kesenggol bajaj atau motor ngehe. Lari berarti indo runners dan Nike Plus dan pencitraan di socmed. Persahabatan? Yang tanpa pamrih? Sahabat yang kata-katanya bisa di'pegang'? Wah, … itu barang langka (walaupun saya sangat bersyukur saya memiliki beberapa). Hal ini yang akhirnya membuat sepeda lipat kesayangan saya jadi nganggur dan karatan sebelum akhirnya hilang entah dicolong siapa. Dan ini pula yang bikin saya lebih suka jadi orang 'rumahan' demi menghindari macet dan energi negatif Jakarta. 

Lain saya, lain pula Ariawan. Pengalaman dia terpental-pental lebih banyak dari saya. Sejak terlahir di pelosok kalimantan timur, lalu melancong ke Semarang, Pemalang, Jakarta, sempat bekerja di beberapa negara lalu kembali ke Jakarta 'hanya' untuk menikahi wanita yang nulis blog ini. 

#duh!
#eh
#tepokjidat
#loveyou

Saya masih ingat betul dulu sepulangnya ia dari Adelaide, titik pelancongannya yang terakhir, muka dan perawakan Ariawan masih seger. Terima kasih sama udara yang lebih bersih, sepeda, berjalan kaki dan weekly projectnya menghias rumah yang memakan banyak energi. Sekarang, melihat Ariawan kadang bikin saya merasa gagal jadi istrinya (lebay). Belum lagi mendengar ceritanya tentang lingkungan kerja yang bikin dia down (ini masalah etos kerja, masalah bangsa dan nggak bisa lepas dari sejarah). Ditambah lagi, waktu 24 jam di Jakarta itu sepertinya tidak pernah cukup untuk mengakomodir semua hasrat berkegiatan. Sampai rumah, biasanya tinggal energi sisa. Itu juga beruntung kalau masih sisa. Biasanya kita semua udah cape. Lagi-lagi, yang kasian anak-anak. 

Muaknya kami dengan kemacetan Jakarta membuat kami lebih sering menjadikan rumah sebagai sanctuary di saat weekend. Mengerjakan proyek-proyek kecil seperti menanam pohon, melukis, menjahit, bikin kue, bebersih rumah, benerin mobil, membuat rumah pohon, dan sebagainya. Nah tuh, banyak bener deh. Lagi-lagi kita kurang waktu. 

Tapi kan enggak bisa begitu terus ya. Anak-anak juga butuh melihat ke luar. Tapi sekali lagi terbentur dengan kondisi yang beda sekali dengan dulu saat saya kecil. Bisa bebas main sepeda dengan radius jauh dari rumah tanpa harus takut diculik atau ketabrak mobil dan motor. Bisa janjian ngumpul di rumah teman atau saudara tanpa harus berangkat dua jam sebelumnya. Karena macetnya itu pula, tinggal di Jakarta sering memaksa kami untuk memilih karena terbatasnya waktu. 

Semua itu membuat saya ingin hijrah dari kota ini. Apalagi, kini saya sudah menjadi ibu dan mendambakan kualitas hidup yang lebih baik untuk anak-anak. Saya ingin mereka merasakan apa yang saya rasakan waktu kecil. Tentu, dengan dimensi yang lebih baik. Ndelalah Ariawan juga merasakan dan memiliki keinginan yang sama.  Hanya saja alasan dia lebih menggunakan otak kiri ketimbang saya yang lebih banyak pake hati. 

“If you have a dream, say it out loud!” Kata The Secret. Iya yah, kayanya saya belum pernah ngember soal wishlist saya yang satu ini. So hear, hear! Aku ingin tinggal di luar negeri! Say I’m pathetic, say I’m ignorant, say I’m a traitor, but I don’t care, I’m only human and yes I want it so much!

Saat ini memang masih sebatas angan, belum bergerak apa-apa (baca: ngandelin suami. Istrinya cuma bisa meracau di blog aja hihihi). Walaupun terus terang, industri periklanan tempat saya bekerja seharusnya sangat memungkinkan untuk jadi TKW. Tapi gimana dong, saya juga lagi nggak cinta sama bidang pekerjaan saya ini. Jadi, yah … semoga meracau ini bisa merefleksi dan menggema hingga ke Arsyi.

Well, kalaupun tidak bisa hijrah ke luar negeri;  saya ingin tinggal di Bali. Dan anak-anak sekolah di sini. Amin!