Udah ah, capek!

Beberapa hari yang lalu, di saat-saat penyesuaian diri dengan kehadiran sepasang suami-istri ART baru, pengen banget blogging soal betapa janggalnya perasaan ini dengan kehadiran mereka. Maklum, sudah lebih dari 3 tahun terakhi ini di rumah memang isinya kita sekeluarga aja.

Terakhir kita punya asisten yaitu waktu Titan umur 3 tahun. Mba Dewi, namanya. Setelah hidup bersama kita lebih dari 2,5 tahun lamanya; akhirnya Mba Dewi memutuskan untuk keluar dengan alasan menikah.

Sejak masa-masa setelah Mbak Dewi, banyak juga asisten yang datang dan pergi. Coba sini, coba sana, tapi enggak ada yang cocok banget dan bisa bertahan sebulan. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk berhenti pakai in-house ART. Selain Titan sudah mandiri, terus terang hati ini juga masih malas melatih asisten baru. Harus membiasakan diri lagi, menilai-nilai lagi. Ah... capeklah pokoknya.

Akhirnya, kita pakai jasa mba setrika yang pulang-pergi aja. Nyuci baju pun aku lebih suka sendiri. Selain memang karena suka wangi detergen, aku kurang (baca: ENGGAK) percaya dengan standar bersihnya mereka. Kadang si Mbak infal ini juga aku minta tolong untuk sapu-sapu dan pel. Tapi ya gitu deh, beda banget sama kalo kita yang bebersih. Debu enggak di lap, kolong-kolong pun nggak ikut disapu dan di pel.

*BIG SIGH*

So yes, for the past three years, kita semua bantu membantu merapikan rumah.
Kadang rapi banget, seringkali sih ... rapi seadanya :)

Setelah Mbak Dewi, beberapa asisten yang berniat kerja datang dan pergi. Rata-rata enggak sampai sebulan. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi mencari, kecuali kalo ditawarin.

Sampai beberapa hari yang lalu, sepasang suami-istri kenalan asisten ortu datang dan berniat bekerja di rumah. Tadinya aku agak ragu, tapi suami minta untuk mencoba dengan alasan perut ini yang semakin besar; takutnya jadi capek kalau harus ngurus rumah sendiri.

Bener aja, mereka bertahan hanya sampai empat hari saja. Mereka keluar dengan alasan tidak cocok dan tidak nyaman di hati bekerja di sini.

Bingung juga ya, mau yang seperti apa sih suasana kerja yang cocok dengan mereka? Gaji UMR bersih, makan dan kebutuhan pribadi semua ditanggung. Jaminan rawat inap di RS, jam kerja mulai dari jam 7 pagi sampai waktunya Titan mandi jam 5 sore. Cuci piring bekas makan malam aja kita nyuci sendiri. Di rumah juga nggak banyak yang dikerjain karena aku dan suami bekerja, Titan sekolah sampai jam 3. Si Mbak bisa tidur, nonton TV, ngobrol sama tetangga, terserah deh bisa ngapain aja. Khusus untuk kasus yang terakhir, pasangan suami-istri pula. Mau ngapain aja sama life partner pun bisa. Mau nyari yang kaya gimana lagi, coba?  

Tapi setelah aku pikir-pikir, mau seprofesional apapun sikap kita terhadap asisten, semua memang kembali lagi dengan mentalitas. Ini cuma sekelumit cerita dari aku, tapi ternyata banyak sekali cerita seperti ini. Dan sedihnya, bukan cuma di kalangan asisten rumah tangga yang (maaf) pendidikannya rendah. Tapi, juga banyak cerita yang dari kalangan kita yang (katanya) golongan makan bangku sekolahan.

Ada apa sih sebenarnya dengan kita? Apa iya mencari pekerjaan itu susah? Atau mungkin  mencari orang yang benar-benar mau kerja, itu yang lebih susah? Inikah kenapa banyak sekali pengangguran? Inikah kenapa banyak sekali yang bercita-cita untuk pensiun dini? Inikah kenapa banyak sekali yang pengen punya usaha sendiri daripada kerja sama orang lain dan sakit hati kalau disuruh-suruh?

Jaman emang sudah makin maju, dan semua orang dari semua golongan ekonomi; punya preference sendiri-sendiri. Tapi masalahnya, kalau kehidupan enggak sesuai dengan preference kita; apa iya kita mau berhenti dengan mudah?

There. Seringkali yang begini ini yang bikin aku jadi males berurusan dengan orang-orang kaya gini.
Bikin cape karena enggak bisa diterima dengan akal sehat.
Udah ah, cape!
Emang paling bener ngandelin diri sendiri dan enggak berharap sama orang lain.

Selamat datang (lagi) weekend penuh kegiatan bersih-bersih! *Ambil sapu dan kemoceng*
Exit door is the most obvious door with a sign. It is so easy to quit.


Comments