Pernahlah, sekali atau dua kali mencuri dengar mereka yang
sedang berkeluh kesah tentang pekerjaannya. Lain waktu, tentang bosnya. Atau,
tentang kebijakan perusahaan dimana mereka bekerja. Atau tentang gaji, lembur, banyak macamlah. Hal ini makin
lama makin sering kesebut. Entah karena memang hal ini menjadi problem semua
pegawai tepatnya pekerja di Jakarta, atau memang hal ini sedang berakrab-akrab
ria sama ijk.
Tadi pagi misalnya. Aku mencuri dengar dua orang karyawati
di lift gedung. Si A lagi bercerita kemarin dia jadi ‘tempat sampah’ pacarnya
yang curhat tentang pekerjaannya.
A bilang, lelakinya itu sampai menitikkan air mata (aihhh...) saat
bercerita bahwa dia ditegur oleh atasannya karena datang terlambat. Dia bilang,
dia jarang sekali terlambat. Kalaupun terlambat paling hanya 3 atau 5 menit
dari waktu kerja yang ditentukan (yaitu jam 8). Suatu pagi, dia merasa lapar
sekali. Jadi, sebelum masuk dia mampir sebentar ke warung depan kantor untuk
sarapan. Begitu masuk, jam sudah menunjukkan pukul 08.15 pagi dan ditegurlah ia
oleh sang supervisor. Mutunglah deh. Saat curhat dengan si A itulah akhirnya
cowok itu mengutarakan niatnya untuk berhenti bekerja di perusahaan tersebut.
Dan dengan alasan ‘ketidakbahagiaan’, si A mengizinkan si cowok untuk resign.
Lain waktu lagi, seorang teman curhat juga tentang etos
kerja anak buahnya. Yang mana, sebagian dari mereka tidak memiliki tanggung
jawab dengan pekerjaan mereka. Seringkali beralasan sakit atau saudaranya
meninggal (mungkin untuk yang ke sekian kalinya si nenek atau kakek atau bibi
atau paman meninggal dan dijadikan alasan untuk tidak masuk kantor). Sayangnya, di kantor temenku itu sistemnya kaya mesin. Tiap orang dalam tim mengerjakan pekerjaan yang beda. Jadi kalau ada yang nggak masuk satu orang aja, terhentilah semua prosesnya.
Akhirnya, dengan berat hati temanku harus
memberikan Surat Peringatan kepada anak itu. Yang mana, justru ditantang balik
untuk segera memberikan SP-3 karena sebenarnya dia juga udah nggak betah kerja
di perusahaan tersebut. *Kemudian hening ... krik krik krik....*
Oh, well.
Untuk si A yang menitikkan air mata saat curhat sama
pacarnya, mungkin niatnya untuk resign bukan karena satu hal tersebut. Pasti
ada deh hal lain yang sifatnya akumulatif dan dia udah nggak tahan lagi untuk
menghadapi beban-beban itu. Begitu pula halnya dengan si anak yang minta di
SP-3. Pasti banyak ketidakpuasan atau inspirasi-inspirasi yang terhambat sampai dia udah sebegitu muaknya bekerja di sana.
Pertanyaannya sekarang, apa iya sulit sekali untuk membuat
kita merasa cukup dan terpuaskan?
Ada satu pertanyaan yang menghantui aku waktu aku lagi
asyik metikin rumput liar di halaman rumah minggu lalu. Konon katanya cari kerja itu susah,
tapi kenapa kok nyari pembantu juga minta ampun susah? Apa sebenarnya yang susah itu
adalah nyari orang yang mau kerja?
Apa sebenarnya kita sekarang ini mikirnya mau enaknya aja dan merasa berhak
untuk selalu mendapatkan lebih atas apa yang telah kita kerjakan? Ataukah ego kita ini yang udah tumbuh tambah
besar? Tapi ya itu, cuma ego doang aja yang tambah gede, yang laen nggak ikutan -_-
Dulu, orang tua kita bisa betah puluhan tahun kerja di
kantoran. Entah itu kantor pemerintahan atau swasta. Bukan berarti kita harus stay di perusahaan yang sama sampe puluhan taun, tapi ... apa iya kita kalah kuat mental dibanding mereka?
Atau memang kita, penduduk Jakarta, sudah sebegitu stresnya
dan permasalahan sudah sebegitu kompleksnya sampe hal-hal kecil aja bisa bikin
bête?
Tapi gimana, sebelum ada pilihan musti dikerjain juga, kan?
Dan setiap pilihan yang mementingkan diri sendiri itu, pasti harus ada
kontribusi kepentingan orang lain yang diabaikan. Jadi, sementara belum ada pilihan,
ya sudahlah yah … don’t sweat little things. Otak udah tipis dipake mikir hal-hal
kecil yang bikin kesel tapi skill untuk nyaring prioritas justru nggak diupgrade - upgrade.
Let's just do it, dan kalau bisa, perluas pilihan di tengah jalan.
Ps:
Kita di sini termasuk aku, and this is a little note for
myself as well.
No comments:
Post a Comment