Menyambut purnama ke lima kamu di Jakarta, kamu pasti masih mencoba untuk beradaptasi dengan kehidupanmu yang baru di sini. Dengan orang-orang yang baru, cuaca yang baru, iklim yang baru, politik dan etos kerja yang baru yang mungkin tidak pernah kamu temui sebelumnya.
Purnama ke lima, dan kamu bertanya apakah kamu yang menua.
Kenapa? Karena semua jauh dari yang pernah terkira? Karena ternyata semangat
dan keadaan fisikmu melorot jauh dibanding bayanganmu sebelumnya? Karena ion
positifmu perlahan namun pasti terus dan terus bertabrakan dengan karbon
monoksida yang kamu hirup setiap hari? Rasa eforia yang berserempetan dengan
kemacetan di jalan dan ketidakefektifan meeting di setiap menit?
Dulu kamu bingung, kenapa Jakarta penuh dengan perselingkuhan.
Saat itu, aku hanya terdiam. Dari orang kaya sampai bapak supir taksi pun
ceritanya semua sama, pasangan mereka berselingkuh.
Tapi coba kamu pikirkan, berapa banyak waktu yang dihabiskan
di luar rumah? Jauh jauh jauh lebih banyak daripada waktu yang dihabiskan
bersama keluarga. Kita bekerja setidaknya 8 jam sehari, itu pun minimal. 8 jam
untuk tidur. Sisa 8 jam yang lain? Setidaknya minimal 3 jam dimakan macetnya
Jakarta. Sisanya, benar-benar yang hanya tersisa, itulah yang kita habiskan
untuk keluarga.
Bukan tidak cinta. Aku yakin mereka tentu pulang membawa sejuta rasa dari kantor menuju rumah. Tapi seperti sekeranjang telur yang terhimpit saat berdesakan di bus, rasa itu begitu ringkih hingga mungkin tidak sampai di rumah dengan selamat. Tak sengaja terhantam motor yang serampangan. Atau dicopet. Atau tak sengaja terjatuh. Lelah. Pulang hanya membawa cangkang dan niatan pernah punya rasa. Dan itu, tentu tidak cukup.
Dulu kamu bertanya kenapa orang Jakarta senangnya mencari
hiburan ke mall dan nongkrong ngalor-ngidul menikmati lifestyle coffee sama orang lain, ketimbang
ngobrol di rumah atau berkegiatan di rumah. Jujur, aku tidak tahu. Apakah
dengan cara seperti itukah sebagian besar dari kami membayar rasa bersalah atas
waktu yang tersisa untuk keluarga? Dengan kemewahan jalan-jalan, belanja dan
makan-makan mall?
Dulu kamu bertanya, kenapa kami lebih suka mengirim
anak-anak ke Time Zone dan mengizinkan mereka mematukkan mata pada iPad
daripada mengobrol di rumah. Bertukar cerita, play pretend, berkebun bersama, membuat
rumah pohon, melukis awan, berkemah dan meneropong bintang pada malam hari.
Jawabku, itulah yang aku rindukan. Karena seperti itulah masa kecilku.
Purnama ke lima, dan aku rasa kamu pun mulai melupakan
pertanyaan-pertanyaanmu. Kamu mulai menjadi seperti kami yang kebanyakan.
Orang-orang yang tidak memiliki waktu, atau tidak ingin membuat waktu.
Orang-orang yang terperangkap dalam lingkaran setan di sebuah negeri yang tidak
akan kemana-mana. Kami yang menghirup udara yang kotor. Kami yang merayapi
detik di tengah kemacetan dan menghabiskan waktu di meeting-meeting tidak
efektif. Kami yang terekspos drama bad mood di twitter. Kami yang hanya pulang ke rumah
berupa raga, karena jiwa kami terhempas dan berserakan dimana-mana.
Kota ini berputar hebat dan cepat menggiring kita ke tengah
mata badai. Tidak tahu dimana berawal dan kapan berakhir, tiba-tiba kita sudah
berputar di dalamnya dan terus menghujam.
Kalau aku jadi kamu, aku akan memeluk diriku dan juga mereka
yang aku cinta dan mencintaiku erat-erat. Menjaganya supaya tidak pecah dan
menghempas tak tentu arah. Supaya aku bisa pulang, karena hanya mereka yang
tidak akan pernah membuatku tersasar meski berada di dalam pusaran.
lah.. kok sama2 nulis tentang purnama ke lima, ya? hihihi
ReplyDeletenice blog Woolie ! ^^
ReplyDelete