Pulang

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Lalu tanpa ba-bi-bu, ibu jariku mulai menari di atas keypad hibrida handphone dan walkman-ku.

When is your flight? Save flight, get well soon … jangan lupa pulang ya!

Dan tak berapa lama, ciptaan hibrida itu bergetar. Sebuah amplop muncul di permukaannya. Dengan sekali klik, amplop itu mudah sekali digelitik untuk membuka rahasia pengirimnya.

“Thanks, dear friend!”

Dan tiba-tiba Pikiranku pergi meninggalkan raganya. Ia menari dengan leluasa tanpa perlu merasa berdosa. Seperti biasa. Lalu kamu melesat secepat kilat ke ujung langit. Tanpa pamit. Dan meninggalkanku dalam kehampaan. Dalam ribuan kuadrat pertanyaan. Di saat yang sama, di ujung sana, kamu tersenyum ke arahku. “Dari sini, aku selalu bisa memandangmu.” Katamu, masih duduk santai di tepian bintang. Kecil, namun kamu begitu terang di langit malam yang tak lagi perawan. Tak ada lagi selaput kabut yang membatasi. Aku dan kamu.

Pulanglah, pikiranku.

Seperti dia yang kini pulang ke pelukan ibunya. Lalu ia bergelung dalam pelukan erat. Mendekap hangat. Menyusu. Kali ini tanpa nafsu. Mulutnya mencucu sambil mendengarkan irama detak jantung perempuan yang pernah meregang nyawa melahirkannya. Lalu tiba-tiba sesuatu yang hangat mengalir di kedua sudut matanya. Sama hangatnya dengan susu yang sedang mengalir di kerongkongannya. Kehangatan itu mendesis, mengiris-iris sepi di sekujur tubuhnya yang dingin. Terlalu lama diterpa angin. Bukan ia tak ingin pulang. Hanya saja, ia telah lama hilang.

Kenapa kamu inginkan aku pulang? Tanyamu. Masih sambil duduk santai di tepi bintang. Kelap-kelip di tengah gelapnya malam. Pulang. Artinya kembali ke sarang. Tempat dimana seharusnya aku atau kamu tidak pernah merasa terbuang. Tapi kamu yang ingin aku pergi dari kepalamu! Kamu yang mengusirku, ingat? Kata kamu aku bejat. Aku pikiran laknat. Aku harus disunat. Karenanya aku minggat!

Lalu meledaklah tangisnya. Dan saat itu langit seolah menggelegar seperti serpihan kelopak mawar yang tersebar di galaksi. Berkelap-kelip di tengah gelapnya malam, serpihan air matamu menjelma serupa bintang. Yang tak terlihat di langit siang. Yang memang tak pernah muncul di saat aku berpikir terang.
Dan kamu selalu di sana. Dengan wajah malu-malu kamu menampakkan diri dalam kegelapan yang terdalam. Di batas mimpi. Antara sepi dan embun pagi. Antara ingin dan pasti.

Langit terang benderang.
Kegelapan bertabur bintang.
Dan aku berada di kedua ambang.

Kapan kamu pulang? Aku mendesah putus asa. “Kapanpun kamu inginkan, perempuan suci.” Katamu.
Dan aku hanya terpaku. Tergugu. Apalah aku tanpa kamu. Apalah suci tanpa benci. Apalah pahala tanpa dosa. Dan aku tertunduk. Menatapi kakiku yang jenjang dan telanjang. Yang telah menjejak ribuan ranjang.

Dan detik itu juga kamu hinggap di benakku. Melilitku dengan sayap lembutmu. Menggelitikku dengan lidahmu. Menelanjangiku hanya dengan satu kedipan matamu. Lalu aku pun berteriak. Bukan! Bukan minta tolong. Tapi seperti anjing yang melolong. Penuh kerinduan.

Kamu pulang. Dan aku seakan terbang melayang.

Dan aku akan mengejarmu.
Sampai kamu pergi lagi.


Di batas mimpi dan embun pagi, 8 juni 2009, 02:30:57

Comments