The day he breaks my heart


Beberapa waktu terakhir ini; lagi dilanda kegalauan sebagai ibu bekerja. Bener aja, ternyata dan ternyata, punya anak itu makin besar memang makin kompleks. Banyak ibu (termasuk gue) yang mengira, segala kewajiban akan menjadi semakin ringan seiring dengan tumbuh besarnya anak. Itu juga  salah satu alasan kenapa nggak berhenti-berhenti kerja: nanti juga lewat, kalau sudah besar paling nggak seberat ini, dan pembenaran-pembenaran lain.

Selain itu juga ada pembenaran-pembenaran lain yang kasat mata. Misalnya, repotnya punya anak alergi dan gampang batpil tapi kemudian berkurang setelah menginjak umur 5 tahunan. Repotnya masak menu khusus buat anak, tapi semakin besar sudah bisa ikut makanan keluarga. Dan masih banyak lagi.

Itu bener sih. Tapi kita lupa, ternyata banyak lagi hal-hal yang timbul setelah dia tumbuh semakin besar. Terutama, setelah memasuki usia sekolah. Seperti misalnya, schedule adjustment bagi orang tua karena harus nyiapin bekal dan anter anak ke sekolah. Membaca pesan-pesan dari gurunya. Belum lagi setumpuk kado buat temannya yang ulang tahun sepanjang tahun. Menu bekal (dan paling kalang kabut kalau roti habis). Menyiapkan sejuta trik untuk membangunkan anak supaya mereka mau bangun pagi dan tetap in the good mood saat melenggang ke sekolah. Belum lagi ikut belajar dan memperkaya materi pelajaran dengan mengembangkannya di rumah. Dan yang terpenting, mulai mendengarkan cerita-cerita mereka tentang ibu guru, tentang pelajaran, tentang teman-temannya.

Yes, teman-teman. Saat ini, proses berteman inilah yang lagi bikin aku khawatir.

Kita, orang tua, tau banget gunanya 'berteman yang baik'. Setelah semakin tua, teman kita semakin sedikit tapi semakin dalam. Saat ini, seringkali kita nggak ragu-ragu untuk ninggalin teman karena berbagai hal. Pastinya sih tolak ukur pertemanan dilihat dari standar kegunaan dan proteksi terhadap diri kita sendiri. Oh ya, sama satu lagi: enggak caypoh sama idup kita! Setuju?

Tapi untuk anak umur 5 tahun? Ya dia lagi seneng-senengnya main dan belajar berteman. Proses ini masih panjang, dan apa yang terjadi sama Titan barulah awal.

Nah, akhir-akhir ini Titan punya peer-group di sekitar rumah. Karena kita tinggal di perkampungan betawi, it's hard for me to say this, sorry ... but ... sebagian teman-teman dia itu adalah anak-anak sebayanya yang rata-rata enggak bersekolah, ibu bapaknya tidak berpendidikan, walaupun Titan cuma menghabiskan waktu sekitar 2 jam bermain bersama mereka; tapi karena setiap hari, terasa sekali pengaruh buruk anak-anak itu terhadap Titan.

Misalnya aja, dia mulai suka menyembunyikan sesuatu. Karena dia tau, itu salah. Misalnya lagi, dia sekarang sudah pintar menyalakan korek api batang, yang tentunya dia pelajari dari teman-temannya itu dalam acara main bakar-bakaran. Atau melupakan worksheets yang harus dia kerjakan. Lupa mandi sore. Mulai membangkang dan berteriak-teriak saat bicara, dan masih banyak lagi.

Oooo, ... my son is getting wild *lebayyyy*

Selama ini aku nggak pernah ngelarang Titan secara lugas bahwa dia nggak boleh main sama mereka. Sampai suatu saat, Titan jatuh ke got di depan rumah yang dalamnya kira-kira 1 meter dan tidak ada seorang pun dari teman-temannya yang membantu.

Kenapa? Tentu aja mereka takut.

Alasan itulah yang akhirnya aku pakai untuk menjelaskan ke Titan bahwa bermain dengan tipe orang seperti mereka enggak ada gunanya. Teman-teman itu seharusnya saling membantu. Lalu aku ingatkan kejadian di sekolahnya dulu, waktu Titan terjatuh dari ayunan dan seorang kakak kelasnya langsung menghampiri dan bertanya "Are you okay?" ... that's what a friend should do.

Tapi kemudian dia menjawab "Tapi Titan pengen main. Terus main sama siapa lagi, dong? Masa Titan enggak boleh main?"

Oh, ... jleb jleb jleb rasanya :(


I know I suppose to be there for you to play with, but I can't because I'm working.
I know he can actually play with them under my supervision and minimize the bad influences, 
but I cannot because I am working.
I know Aki and Nini were around, 
but it is too much if I asked them to supervise you every minutes.
I know, I also take part of the situation. 
I know.

Sampai saat ini, masalah ini belum terpecahkan selain Titan bermain dengan dibatasi pagar tinggi dimana dia tidak boleh selangkah pun keluar dari pagar. Mereka mengobrol, atau terkadang anak-anak itu memberi Titan kapur yang entah darimana datangnya dan bersama mereka mencoret-coret tembok. Coretan Titan, tentu gambar mobil dan cerita. Gambar mereka? Awut-awutan nggak jelas.

Miris melihatnya atau mendengar ceritanya setiap kali aku menelfon Titan di sore hari.

Sejak kapan berteman harus berbatas besi?

Dulu juga aku bermain bersama 'anak kolong'. Main layangan di atap rumah dan perosotan di sepanjang atap asbes. Tapi bedanya, ada mamah di rumah yang menyaksikan dan memastikan aku baik-baik saja. Lah ini?

*Menarik nafas dalam-dalam*
Sabar ya nak, sampai Bunda pikirkan bagaimana pemecahan masalahnya yang paling baik.

Yang ke dua, dimana Titan mulai 'berusaha' untuk menyembunyikan sesuatu. Kenapa aku bilang 'berusaha' karena selalu aja ketauan hahaha. Tapi, ... dia lambat laun akan belajar bagaimana supaya tidak ketahuan. Because lying is a skill.

Aku enggak pernah nyalahin kalau dia ketahuan berbohong. Bohong itu sangat manusiawi. Kita aja orang tua masih sering berbohong. Sama siapapun. Aku cuma bertanya, kenapa dia tidak terus terang. Dan jawabnya pasti satu "Takut Bunda marah."

Berbohong adalah salah satu defense mechanism, 
and yes, my son is learning how to defend himself.

Saat itulah aku menyadari, this is the day my little guy breaks my heart. Yes, that day finally comes. Hari dimana aku tahu, bahwa aku tidak bisa selamanya mendampingi dia. That when he is out of my sight, he could do anything he wants or ever wanted. Bahwa pada suatu titik, dia akan mengabaikan aku ibunya; atau nilai-nilai yang selama ini aku tanamkan. He is on his own.

Saat itu, aku tersadar. Bahwa anakku adalah individu bebas, dan yang bisa aku lakukan hanyalah memberi tahu dan menjelaskan segala konsekuensi dari segala tindakan yang dia ambil. Masih sering dia bertanya "Konsekuensi itu apa sih, Bunda?" Dan setiap kali aku jelaskan, sebanyak kali itu pula dia masih belum mengerti.

Ternyata, bagaimanapun aku telah melakukan berbagai cara untuk menyiapkan dia untuk bisa menentukan pilihan dan menerima konsekuensinya, ... saat ia membuat pilihan yang aku tidak suka, tetap rasanya nyelekit-nyelekit di hati. Dan aku masih harus dan harus lebih banyak belajar untuk ikhlas akan setiap pilihannya, dan harus menerima saat dia menjalani konsekuensinya tanpa harus campur tangan untuk membantu.

Kembali ke soal bohong, aku enggak pernah memarahi. Aku cuma bilang, buat apa berbohong? Rasanya nggak enak, kaya harus menutupi sesuatu berkepanjangan. Kaya ada yang ganjel, kaya punya beban, nanti Titan malu sendiri kalau melihat Bunda.

Titan diam.

Lalu bubunya menambahkan, kenapa berbohong itu tidak baik. "Karena, orang yang suka berbohong itu tidak akan dipercaya orang lain. Nanti kamu akan tahu, betapa sulitnya hidup jika tidak mendapat kepercayaan dari orang lain."

Emaknya ini cuma bisa meluk dan bilang "Jangan bohong lagi ya, apalagi hanya karena takut dimarahin sama Bunda."

As posted on emaklicca



The day he breaks my heart

Beberapa waktu terakhir ini; lagi dilanda kegalauan sebagai ibu bekerja. Bener aja, ternyata dan ternyata, punya anak itu makin besar memang makin kompleks. Banyak ibu (termasuk gue) yang mengira, segala kewajiban akan menjadi semakin ringan seiring dengan tumbuh besarnya anak. Itu juga  salah satu alasan kenapa nggak berhenti-berhenti kerja: nanti juga lewat, kalau sudah besar paling nggak seberat ini, dan pembenaran-pembenaran lain.

Selain itu juga ada pembenaran-pembenaran lain yang kasat mata. Misalnya, repotnya punya anak alergi dan gampang batpil tapi kemudian berkurang setelah menginjak umur 5 tahunan. Repotnya masak menu khusus buat anak, tapi semakin besar sudah bisa ikut makanan keluarga. Dan masih banyak lagi.

Itu bener sih. Tapi kita lupa, ternyata banyak lagi hal-hal yang timbul setelah dia tumbuh semakin besar. Terutama, setelah memasuki usia sekolah. Seperti misalnya, schedule adjustment bagi orang tua karena harus nyiapin bekal dan anter anak ke sekolah. Membaca pesan-pesan dari gurunya. Belum lagi setumpuk kado buat temannya yang ulang tahun sepanjang tahun. Menu bekal (dan paling kalang kabut kalau roti habis). Menyiapkan sejuta trik untuk membangunkan anak supaya mereka mau bangun pagi dan tetap in the good mood saat melenggang ke sekolah. Belum lagi ikut belajar dan memperkaya materi pelajaran dengan mengembangkannya di rumah. Dan yang terpenting, mulai mendengarkan cerita-cerita mereka tentang ibu guru, tentang pelajaran, tentang teman-temannya.

Yes, teman-teman. Saat ini, proses berteman inilah yang lagi bikin aku khawatir.

Kita, orang tua, tau banget gunanya 'berteman yang baik'. Setelah semakin tua, teman kita semakin sedikit tapi semakin dalam. Saat ini, seringkali kita nggak ragu-ragu untuk ninggalin teman karena berbagai hal. Pastinya sih tolak ukur pertemanan dilihat dari standar kegunaan dan proteksi terhadap diri kita sendiri. Oh ya, sama satu lagi: enggak caypoh sama idup kita! Setuju?

Tapi untuk anak umur 5 tahun? Ya dia lagi seneng-senengnya main dan belajar berteman. Proses ini masih panjang, dan apa yang terjadi sama Titan barulah awal.

Nah, akhir-akhir ini Titan punya peer-group di sekitar rumah. Karena kita tinggal di perkampungan betawi, it's hard for me to say this, sorry ... but ... sebagian teman-teman dia itu adalah anak-anak sebayanya yang rata-rata enggak bersekolah, ibu bapaknya tidak berpendidikan, walaupun Titan cuma menghabiskan waktu sekitar 2 jam bermain bersama mereka; tapi karena setiap hari, terasa sekali pengaruh buruk anak-anak itu terhadap Titan.

Misalnya aja, dia mulai suka menyembunyikan sesuatu. Karena dia tau, itu salah. Misalnya lagi, dia sekarang sudah pintar menyalakan korek api batang, yang tentunya dia pelajari dari teman-temannya itu dalam acara main bakar-bakaran. Atau melupakan worksheets yang harus dia kerjakan. Lupa mandi sore. Mulai membangkang dan berteriak-teriak saat bicara, dan masih banyak lagi.

Oooo, ... my son is getting wild *lebayyyy*

Selama ini aku nggak pernah ngelarang Titan secara lugas bahwa dia nggak boleh main sama mereka. Sampai suatu saat, Titan jatuh ke got di depan rumah yang dalamnya kira-kira 1 meter dan tidak ada seorang pun dari teman-temannya yang membantu.

Kenapa? Tentu aja mereka takut.

Alasan itulah yang akhirnya aku pakai untuk menjelaskan ke Titan bahwa bermain dengan tipe orang seperti mereka enggak ada gunanya. Teman-teman itu seharusnya saling membantu. Lalu aku ingatkan kejadian di sekolahnya dulu, waktu Titan terjatuh dari ayunan dan seorang kakak kelasnya langsung menghampiri dan bertanya "Are you okay?" ... that's what a friend should do.

Tapi kemudian dia menjawab "Tapi Titan pengen main. Terus main sama siapa lagi, dong? Masa Titan enggak boleh main?"

Oh, ... jleb jleb jleb rasanya :(


I know I suppose to be there for you to play with, but I can't because I'm working.
I know he can actually play with them under my supervision and minimize the bad influences, 
but I cannot because I am working.
I know Aki and Nini were around, 
but it is too much if I asked them to supervise you every minutes.
I know, I also take part of the situation. 
I know.

Sampai saat ini, masalah ini belum terpecahkan selain Titan bermain dengan dibatasi pagar tinggi dimana dia tidak boleh selangkah pun keluar dari pagar. Mereka mengobrol, atau terkadang anak-anak itu memberi Titan kapur yang entah darimana datangnya dan bersama mereka mencoret-coret tembok. Coretan Titan, tentu gambar mobil dan cerita. Gambar mereka? Awut-awutan nggak jelas.

Miris melihatnya atau mendengar ceritanya setiap kali aku menelfon Titan di sore hari.

Sejak kapan berteman harus berbatas besi?

Dulu juga aku bermain bersama 'anak kolong'. Main layangan di atap rumah dan perosotan di sepanjang atap asbes. Tapi bedanya, ada mamah di rumah yang menyaksikan dan memastikan aku baik-baik saja. Lah ini?

*Menarik nafas dalam-dalam*
Sabar ya nak, sampai Bunda pikirkan bagaimana pemecahan masalahnya yang paling baik.

Yang ke dua, dimana Titan mulai 'berusaha' untuk menyembunyikan sesuatu. Kenapa aku bilang 'berusaha' karena selalu aja ketauan hahaha. Tapi, ... dia lambat laun akan belajar bagaimana supaya tidak ketahuan. Because lying is a skill.

Aku enggak pernah nyalahin kalau dia ketahuan berbohong. Bohong itu sangat manusiawi. Kita aja orang tua masih sering berbohong. Sama siapapun. Aku cuma bertanya, kenapa dia tidak terus terang. Dan jawabnya pasti satu "Takut Bunda marah."

Berbohong adalah salah satu defense mechanism, 
and yes, my son is learning how to defend himself.

Saat itulah aku menyadari, this is the day my little guy breaks my heart. Yes, that day finally comes. Hari dimana aku tahu, bahwa aku tidak bisa selamanya mendampingi dia. That when he is out of my sight, he could do anything he wants or ever wanted. Bahwa pada suatu titik, dia akan mengabaikan aku ibunya; atau nilai-nilai yang selama ini aku tanamkan. He is on his own.

Saat itu, aku tersadar. Bahwa anakku adalah individu bebas, dan yang bisa aku lakukan hanyalah memberi tahu dan menjelaskan segala konsekuensi dari segala tindakan yang dia ambil. Masih sering dia bertanya "Konsekuensi itu apa sih, Bunda?" Dan setiap kali aku jelaskan, sebanyak kali itu pula dia masih belum mengerti.

Ternyata, bagaimanapun aku telah melakukan berbagai cara untuk menyiapkan dia untuk bisa menentukan pilihan dan menerima konsekuensinya, ... saat ia membuat pilihan yang aku tidak suka, tetap rasanya nyelekit-nyelekit di hati. Dan aku masih harus dan harus lebih banyak belajar untuk ikhlas akan setiap pilihannya, dan harus menerima saat dia menjalani konsekuensinya tanpa harus campur tangan untuk membantu.

Kembali ke soal bohong, aku enggak pernah memarahi. Aku cuma bilang, buat apa berbohong? Rasanya nggak enak, kaya harus menutupi sesuatu berkepanjangan. Kaya ada yang ganjel, kaya punya beban, nanti Titan malu sendiri kalau melihat Bunda.

Titan diam.

Lalu bubunya menambahkan, kenapa berbohong itu tidak baik. "Karena, orang yang suka berbohong itu tidak akan dipercaya orang lain. Nanti kamu akan tahu, betapa sulitnya hidup jika tidak mendapat kepercayaan dari orang lain."

Emaknya ini cuma bisa meluk dan bilang "Jangan bohong lagi ya, apalagi hanya karena takut dimarahin sama Bunda."





If son is monkey and so is Mommy, don't you think?

Yes Malicca,
you were absolutely rrrrrrrrright!

Okay,
it was one night when we were sitting together watching TV.
It was not Animal Planet, for sure.
But I wonder why there was a bunch of monkeys on the TV Screen.
Amongst them, was a baby monkey.
So cute.

Out of curiosity, I said this to you.

"Look! There's Titan. When did you do the shooting?"

The next scene was the baby monkey jumped up to his mom.

And you answered me, in flat voice and flat face.
"Iya, tuh lagi digendong sama Bunda kan?"

-__-

Sometimes I wonder where did you get those wittiness. 
Oh, yea I know. 


The best present

Slowly the smells got into my nostrils.
The sweet whimsical smell that came from whitish petals of my favorite flowers that my hubby prepared the night before.

Then I woke up.
I realized I was now 34,
and this was what I saw.


I smiled looked at their faces.
Men of my life, so peaceful in their sleep.
With their wandering mind that came in the form of dream,
but they were not my dream.
They are my life.

I looked around.
And these were what I saw in the corner.



And I went outside.
Nothing was in my mind and the air was so clear. 
I looked around the house. 
Just to feel every existence. 

And not long after that, a voice called me. 
It was my mother and father. 
Gave me a big bear hug and wished me a happy birthday. 

And a bonus.



What else I have not got? 
This is the best birthday feeling I ever had.
Alhamdulillah.

First time blogging

Dulu, suka sebel kalau ada yang bilang kenapa Titan belum bisa baca di umur 4 tahun.
Padahal kalau di Inggris, ngajarin baca tulis sebelum umur 5 tahun itu hukumnya haram.

Sekarang, ternyata setelah anak bisa baca tulis, rasanya seneng banget.
Karena dia jadi bisa lebih ekspresif seperti misalnya nulis I love you Bunda, nulis Hati-hati di jalan, nulis I want to be your dad, dan banyak lagi.
Bisa baca sendiri, jadi bisa gantian dia yang bacain bed time stories.

Tentu aja perjuangan mengajar baca-tulis itu panjang. Karena memang aku nggak mau maksain anak. Bagaimanapun, apa yang nantinya dia baca dan tulis, itu jauh lebih penting daripada skill untuk baca dan nulis itu sendiri.

Untuk kasusnya titan, karena dia sukanya mobil, aku memperkenalkan huruf mulai dari logo-logo mobil seperti VW, Suzuki, Chevrolet, pokoknya logo yang bentuknya font type deh. Semua itu aku print dan aku tempel di dinding. OH YES, masa-masa itu adalah masa-masa dinding rumah penuh tempelan huruf :)

Aku nempelnya secara acak, dengan tujuan supaya dia nggak cuma menghafal seperti lagu ABCD. Aku juga nggak tiap hari maksa dia baca. Kalau lagi sempet, aku ajak Titan balap lari untuk nge-tag huruf-huruf tersebut secara acak. Intinya sih, supaya matanya terbiasa terekspos huruf-huruf itu.

Intinya emang konsistensi sih. Karena emaknya tidak konsisten begini, perjuangannya terasa agak lama hahaha.... Sampai akhirnya dia sekolah dan mulai belajar phonics. Nah, menurutku metode phonics itu paling enak buat ngajarin anak belajar baca. Karena metode itu ngajarin mengenal suara huruf dan bukan ngajarin nama huruf. Jadi saat digabung menjadi sebuah kata, udah nggak bingung lagi. Tingkatan katanya juga bertahap mulai dari yang paling sederhana dari ba, bi, bu atau big, bin, boss, sampai yang  kompleks tulisannya apa, bacanya beda lagi hehehehe

Time flies, tiba-tiba dia udah bisa baca aja. Tentunya karena sekolahnya bilingual, dia lebih dulu bisa baca bahasa inggris yang sederhana. Tapi ternyata hal itu nggak menghalangi dia untuk berbahasa indonesia. Jujur saat itu aku sempet khawatir sama perkembangan bahasa indonesianya. Tapi ternyata ya, bahasa ibu memang nggak akan pernah hilang dan selalu bisa tumbuh. There is no way a kid who lives in Indonesia cannot speak Indonesian. Itu karena orang tuanya nggak membiasakan aja. Kalau aku sih tipe emak-emak yang ngejejelin semuanya selama dia mau. Selain buku-buku bahasa inggris, enggak ada salahnya sodorin juga koran kalau memang ingin bahasa indonesianya lebih bagus daripada sinetron. Will he think of politics or economy when he reads the newspaper? No he won’t. At least for now. He will only learn new words that might sound strange to him such as Katulampa, wafat, and other words we rarely speak in daily life. And those words, hopefully, would stay in his mind which someday he would recall.

Buktinya malam ini. Dimana Titan belajar blogging untuk pertama kalinya.
Nah, ekspresinya keluar dalam bahasa indonesia tuh :)




I really really really enjoyed my time together with Malicca specially when we were about to go to bed and having a shower. Those are the times when he was so so sooooo talkative. Sometimes my head hurts because of it.

Just like this morning.

Bunda, Titan kan pernah ya waktu itu hari Minggu cepat-cepat mandi; soalnya kata Bunda bilang mau nonton. 

Iya, minggu lalu kan? 

Iya. Trus habis mandi Titan tanya "Pakai baju apa, Bunda?"

Trus Bunda bilang "Pakai baju biasa aja."

Trus Titan tanya "Lho kok pake baju biasa? Kan mau nonton...." Ehhh taunya bukan nonton bioskop di mall ya. Taunya nonton Bioskop Bunda di rumah. Itu mah namanya nonton TV, Bunda. Lain kali kalau ngomong yang jelaaaaaaaaaaaaaas." You said in flat face.

Me: "Lho, tapi kan namanya nonton juga itu. Nonton film pakai DVD, di TV. Itu namanya Bioskop Bunda."

T: "Bukan, itu namanya TV. Tuh, ada tulisannya Samsung Smart TV"

M: "Emang kalau nonton di bioskop ada tulisannya? B-I-O-S-K-O-P, gitu?"
 

T: "Ya enggak ada sih, tapi kan ada tulisannya di tiket."

I made a big laugh out of it.
I am sorry son, I did not know how disappointed you were until you told me just now.
Well, Okay. errr... I sometimes hid a little bit clues, but it did not mean I lied.
Sometimes, telling you things in details was such a TV production. Yea, ... that tough you know.
Why? Because it would at least took me 10 minutes to explain and answer your 'out-of-the-box' logical question and bragged your million reasons.

But you know what, I love those moments.
Yea, ... those irritating reasoning.
Cause when two people are having argument, means that both are thinking.

Keep going, will you?
Someday I will miss our conversation and discussion a lot, which I hope is not ending up so soon.



Happy birthday to you



Post it di atas, adalah kado ulang tahun untuk suami tercinta tahun lalu :)
Kok cuma Post It??????
Iyaaaaaaa... karena gue bingung mau kasih apaaaaaaa :'(
Akhirnya, pada waktu itu gue cuma kasih segepok Post It dan dia boleh minta APA AJJJJJAH sebanyak lembaran Post It itu, and all he needed to do was jot it down the Post It.

Tapi ... knowing my husband, and he loves me very much, tidak pernah satu lembar pun dipakai untuk meminta. Akibatnya Post It itu dipakai Titan buat gambar-gambar -__-

Tahun ini, kebingungan kembali melanda.
Akhirnya, aku cuma pesan kue untuk dikirim ke kantornya (yea, things he did for me and I copied him minus the flower bouquet) dan beli kue kecil untuk tiup lilin pagi hari. Dan malamnya, kita makan nasi kuning bareng di rumah orang tuaku.

No luxurious gifts, no fancy dinner,  a birthday is only another ordinary day for both of us.
Hey, are we aging or what? :)

Well, just see the brighter side. That we might have everything, and to have each other is the greatest thing :) And specially for 2013,  the baby inside ma belly is the greatest birthday gift for both of us as Ariens.

Happy birthday yah suamiku.
Semoga sehat selalu dan berumur panjang, hingga aku bisa mencintaimu lebih lama lagi :) 



Dreaming of her

I forgot when it happened.
There was a one fine morning when you, Malicca, woke up with a big smile.

"Bunda, tadi Titan mimpi indah.
Titan boncengan motor sama Arsel (his girl classmate) naik Vespa." 
*he giggled*

I smiled.

"Bobo lagi aja, siapa tahu mimpinya bersambung lagi." I said.


And he did continue his sleep.

Udah ah, capek!

Beberapa hari yang lalu, di saat-saat penyesuaian diri dengan kehadiran sepasang suami-istri ART baru, pengen banget blogging soal betapa janggalnya perasaan ini dengan kehadiran mereka. Maklum, sudah lebih dari 3 tahun terakhi ini di rumah memang isinya kita sekeluarga aja.

Terakhir kita punya asisten yaitu waktu Titan umur 3 tahun. Mba Dewi, namanya. Setelah hidup bersama kita lebih dari 2,5 tahun lamanya; akhirnya Mba Dewi memutuskan untuk keluar dengan alasan menikah.

Sejak masa-masa setelah Mbak Dewi, banyak juga asisten yang datang dan pergi. Coba sini, coba sana, tapi enggak ada yang cocok banget dan bisa bertahan sebulan. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk berhenti pakai in-house ART. Selain Titan sudah mandiri, terus terang hati ini juga masih malas melatih asisten baru. Harus membiasakan diri lagi, menilai-nilai lagi. Ah... capeklah pokoknya.

Akhirnya, kita pakai jasa mba setrika yang pulang-pergi aja. Nyuci baju pun aku lebih suka sendiri. Selain memang karena suka wangi detergen, aku kurang (baca: ENGGAK) percaya dengan standar bersihnya mereka. Kadang si Mbak infal ini juga aku minta tolong untuk sapu-sapu dan pel. Tapi ya gitu deh, beda banget sama kalo kita yang bebersih. Debu enggak di lap, kolong-kolong pun nggak ikut disapu dan di pel.

*BIG SIGH*

So yes, for the past three years, kita semua bantu membantu merapikan rumah.
Kadang rapi banget, seringkali sih ... rapi seadanya :)

Setelah Mbak Dewi, beberapa asisten yang berniat kerja datang dan pergi. Rata-rata enggak sampai sebulan. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi mencari, kecuali kalo ditawarin.

Sampai beberapa hari yang lalu, sepasang suami-istri kenalan asisten ortu datang dan berniat bekerja di rumah. Tadinya aku agak ragu, tapi suami minta untuk mencoba dengan alasan perut ini yang semakin besar; takutnya jadi capek kalau harus ngurus rumah sendiri.

Bener aja, mereka bertahan hanya sampai empat hari saja. Mereka keluar dengan alasan tidak cocok dan tidak nyaman di hati bekerja di sini.

Bingung juga ya, mau yang seperti apa sih suasana kerja yang cocok dengan mereka? Gaji UMR bersih, makan dan kebutuhan pribadi semua ditanggung. Jaminan rawat inap di RS, jam kerja mulai dari jam 7 pagi sampai waktunya Titan mandi jam 5 sore. Cuci piring bekas makan malam aja kita nyuci sendiri. Di rumah juga nggak banyak yang dikerjain karena aku dan suami bekerja, Titan sekolah sampai jam 3. Si Mbak bisa tidur, nonton TV, ngobrol sama tetangga, terserah deh bisa ngapain aja. Khusus untuk kasus yang terakhir, pasangan suami-istri pula. Mau ngapain aja sama life partner pun bisa. Mau nyari yang kaya gimana lagi, coba?  

Tapi setelah aku pikir-pikir, mau seprofesional apapun sikap kita terhadap asisten, semua memang kembali lagi dengan mentalitas. Ini cuma sekelumit cerita dari aku, tapi ternyata banyak sekali cerita seperti ini. Dan sedihnya, bukan cuma di kalangan asisten rumah tangga yang (maaf) pendidikannya rendah. Tapi, juga banyak cerita yang dari kalangan kita yang (katanya) golongan makan bangku sekolahan.

Ada apa sih sebenarnya dengan kita? Apa iya mencari pekerjaan itu susah? Atau mungkin  mencari orang yang benar-benar mau kerja, itu yang lebih susah? Inikah kenapa banyak sekali pengangguran? Inikah kenapa banyak sekali yang bercita-cita untuk pensiun dini? Inikah kenapa banyak sekali yang pengen punya usaha sendiri daripada kerja sama orang lain dan sakit hati kalau disuruh-suruh?

Jaman emang sudah makin maju, dan semua orang dari semua golongan ekonomi; punya preference sendiri-sendiri. Tapi masalahnya, kalau kehidupan enggak sesuai dengan preference kita; apa iya kita mau berhenti dengan mudah?

There. Seringkali yang begini ini yang bikin aku jadi males berurusan dengan orang-orang kaya gini.
Bikin cape karena enggak bisa diterima dengan akal sehat.
Udah ah, cape!
Emang paling bener ngandelin diri sendiri dan enggak berharap sama orang lain.

Selamat datang (lagi) weekend penuh kegiatan bersih-bersih! *Ambil sapu dan kemoceng*
Exit door is the most obvious door with a sign. It is so easy to quit.


Impian semua BuMil

Buat ibu-ibu hamil, kayanya nggak 'klop' kalau belum browsing-browsing stroller ya. Bisa dipastikan hampir semua ibu-ibu hamil pengen beli stroller. Karena emang lucu-lucu banget bentuknya. Dan stroller itu jadi seringkali jadi simbol status sosial kalo kita lagi jalan-jalan ke mall. Ya, kan? Coba aja, kalau liat ibu-ibu strolling Maxi Cosy stroller, minimal tasnya Kate Spade deh hihihihihi....

Begitu juga dengan aku. Belum apa-apa, yang diliat-liat itu adalah stroller. Belum juga hamilnya keliatan membuncit, udah sibuuuk aja browsing-browsing belanja online atau mampir ke Mothercare buat liat-liat stroller. Bahkan, sampai rajin banget baca review merk apa yang paling OK.
Sampai-sampai aku punya kriteria stroller OK sendiri:
1. Bisa 2 muka, menghadap atau membelakangi si pendorong.
2. Yang ringan dan mudah dilipat. Supaya, kalau pergi sendiri nggak repot.
3. Modelnya ringkes tapi bisa mulai dari umur 0 sampai 3 tahunan.
4. Kalau ada bonus infant car seat, wah itu bisa jadi added value banget
5. Nah ini, last but not least, ... the price!

Betapa lucunya stroller-stroller itu, sampai kita kadang nggak peduli bahwa stroller yang rodanya besar dan biasanya cuma terdiri atas 3 roda itu sebenarnya didisain untuk country strolling alias jalan-jalan di daerah berbatu atau kasar. Jadi, nggak cocok kalau dibawanya ke Mall.

Kadang, eh... sering deeeeeeh, ujung-ujungnya stroller dipakai untuk naruh barang dan didorong oleh baby sitter. Bayinya? Ya tentu lagi digendong sama ibunya. Lebih nyaman, lebih interaktif, lebih empuk, sehingga waktu mau ditaruh kembali ke stroller si bayinya nangis deh.
Akhirnya, stroller itu cuma jadi trolley buat naro barang belanjaan.

Nah, sebenarnya stroller ini ternyata agak kurang berguna buat aku. Karena jarang jalan-jalan juga sih hehehe. Berdasarkan pengalaman anak pertama yang enggak mau ditaruh di stroller, akhirnya sekalinya jalan-jalan pun jarang sekali bawa stroller. Ditambah lagi, saya suka merasa geli sendiri kalau melihat anak sudah besar dan sudah bisa jalan tapi masih aja didorong-dorong di kereta bayi.

Akhirnya, stroller pun dengan cepat berpindah tangan kepada yang lebih membutuhkan. Dan Malicca, untungnya dia lebih suka jalan kaki. Kalau udah capek, nggak ada deh tuh gendong-gendong. Mending pulang aja.

Buat aku, berdasarkan pengalaman juga sih, yang justru sangat berguna adalah carseat. Sampai Malicca umur 3 tahun, carseat itu masih terpakai. Banyak orang yang bilang "Tapi anakku enggak mau didudukin di carseat. Gimana dong?" Ya, ... kalau dibiasainnya umur setahun sih jelas-jelas anaknya pasti enggak mau ya. Tapi coba kalau udah dibiasain sejak lahir. Karena itu, kalau bisa nemu carseat yang bisa recline, bisa untuk newborn sampai berat 18 kg, rasanya kaya dapet arisan!

Etapi yah... tetep loh di hamil kali ini aku punya stroller impian yang cocoooook sekali dengan kriteria saya. Tadaaaaaaa.... the all in one stroller for infant to toddler :) Sayangnya, harganya tidak sesuai dengan kriteria aku :)


As the feeling grows, the house grows

You may say I am a bit too much. But for the hundred times, I want to tell you that I love my house. I love every sweat I spent to build it. Every advertising awards I won that gave me millions of money and Ace Hardware vouchers. Every single corner I made even the spot where to put the toilet. Every fights I had with my brother since he was the architect. Every bureaucracy I encountered for the paperworks.  Every supports from people around, specially my father who kept his eyes on the progress. Every tears I poured when I entered the rocky years and the house was abandoned for quite sometimes.

Yet the house is still here, and I love it even more.

2007

The idea of building the house actually popped out when I got tired of trying to conceive. After I went through so many doctors, I became stress and I thought I needed to find an as big distraction as trying to conceive a baby. With all the guts, I made the big step. My father gave me the 225 square meteres land in the west of Jakarta, just right next to my parent's house and I applied an 11 years mortgage to build it. After a few months, I got pregnant. We moved in a few weeks after I gave birth.

The house has been the silent witness of what ever happened in my life. It has witnessed so much beginnings and many endings. I am one of those people who believes that a house reflects who's inside. Especially the mother. Or the wife. And I regretted I ever abandoned the house as I neglected many things in my life before.

Years passed. Nearly six years since the house stood tall, as old as my oldest son. Now I am slowly picking up all the pieces and is trying to rebuild and recolour it. With the help of my husband, the one who always supports me what ever I want to do in life.

After a few weeks, we finally finished our renovation. The second floor that has always been empty, is now planned to be a more lively room as I (Insya Allah) gave birth in a few months. There will be kid's room for Malicca and the little baby. There will be a chalkboard wall so they can sketch as big as their dream. There will be an indoor swing that will keep them happy. There will be tons of books and a reading nook so they can travel their mind everywhere. There will be me and my husband watching them from the patio. There will be us. Insya Allah.

The drawer stairs, now with lights. 

The new focal point in green, still an empty wall. 

Soon to be a happening floor, Insya Allah.

Proud kid who picked his own colour for his bathroom

I am happy.
I dedicate this post to my beloved husband, Ariawan. The agile guy I met when I was 16. I thank God we met each other again after 14 years.
I love you, Bubu.

2013

Perlahan, ... tapi jalan.

  Usia 40-an tuh...  kayak masuk bab baru yang nggak pernah kita latihanin sebelumnya. Ternyata bener ya, apa yang Rasulullah bilang... di u...