Me. Now

This is me. Now.

I am 34 y.o, 32 weeks pregnant, have gained 13,5 kilograms and still crawling up (which I hope it would not be much), still supervising the shoot for TV commercials (this is the second continuity day by the way), and still driving my own. Sometimes, abang ojek is pretty handy too.

My life now is a bit ... tiring, if I may say.

Different from when I conceived Malicca, everything was easier. Of course, because I was only 28 by then. I was splurged by the easiness of finding food stalls around my office in Blok M, and my office mates always asked me "Bumil mau mau makan apa hari ini?" ... day and night. My previous office also paid so much attention to pregnant women that I wasn't given so much tasks outside office. Rather they put me on floating system so I could do more in the office for other teams. I had chances to have a power nap in my first semester, I did not have to drive myself, and as cherry on top ... I still lived with my parents at that time, with no obligations and 247 full-womb-service. I also said No to many things. I immediately stop as I see stairways. I drink my vitamin and calcium regularly, like a Swiss watch precision. I said NO to Teh Botol, Indomie and other artificials. I was a happy being the whole term, ... maybe that is why Malicca born as a happy child. Full of laughter, positive and friendly.

It is true what people said. That every pregnancy is different. Conceiving a baby after 6 years, I almost forgot what it felt like. My body, my metabolism, my brain functionals, all are way different now. To add with, my life now is a bit challenging. Workload, get domesticated with no maid and taking care of my kindergarten kid challenging behaviour and his never ending school projects all-together, ... they are such a production and is so time and energy consuming. These are the things I cannot have one by one. They happen together and me with the water-melony belly needs to juggle.

Is my life so struggling like you imagine?

I thought so too. But you know what, despite of the office thingy, I am happy.
This is what my life suppose to be. Being a wife, a mother and a working mom. To wake up earlier and prepare lunch boxes for hubby and son, to assist my son doing his school projects and get involved with the school community and activities, go to work, cook our dinner soon as I get back home. Sounds like I want to have every checklists a perfect mom has, ... but no I am not.  I know I cannot be perfect,  I just want to be capable.

Then when things getting rough, I have learnt that all I have to do is ask for a hand. Like the last shooting day in weekend. My hubby and son took me to the shooting location. My son was there beside me all day to entertain me, and there always bright sides in every dark. I taught him what a film production is. What director, setting, lighting, characters and scripts are. My hubby left for a few hours and got  back with 4 orange trees I longed to have for my garden: Jeruk Nipis, Jeruk Limau, Jeruk lemon he forgot but substituted it with Jeruk Intan (that smells like jasmine) and Jeruk Kesturi.

I have learnt that no matter how hard our life is, it is very helpful to realize we have people around to give some help. And all we need to do is ask. Even a little hand can help, like how Malicca took a picture of me today.











... and I have failed.

Inget posting saya tentang memperkenalkan managemen keuangan untuk anak di sini?  Jadi ya, beberapa hari setelah posting; kebetulan saya harus belanja ke Superindo. Tentunya, ditemenin sama si Kakak Titan.

Di rumah, saya kasih Titan uang sepuluh ribu rupiah. Saya jelaskan bahwa dia boleh beli apa aja secukup uang itu. Jangan lupa nanti bawa keranjang sendiri. Titan mengangguk setuju. Lalu, ia segera mengambil dompet Angry Birdsnya dan memasukkan uang sepuluh ribu itu diantara helaian uang-uang dan Surat Izin Mengemudi Kidzanianya.

Sampai Superindo, Titan lebih memilih membawa trolley ketimbang keranjang. Lalu ia mulai asyik strolling the store. Sementara saya asyik berbelanja mingguan, sesekali saya memperhatikan dia.

Pertama yang dia datangi adalah Dairy shelves. Ia ambil se-pack Yakult dan Yogurt. Kali ini, tanpa izin. Mungkin karena ia merasa sudah mengantongi izin dari saya. Terus dia asyik jalan-jalan sendiri. Kali ini mampir ke lorong personal care dan mengambil pasta gigi Enzym dan sikat gigi yang biasa saya belikan untuknya. Saya jadi ingat, pasta giginya di rumah memang sudah hampir habis. Akhirnya, saya pindahkan pasta gigi dan sikat gigi dari trolleynya dengan alasan "Yang ini kewajiban Bunda, biar Bunda aja yang bayar."

Saya tetap asyik dengan list belanjaan di tangan saya, sementara si Kakak tetap asyik berbelanja. Nggak terasa, trolleynya udah nambah lagi barang bawaannya. Saya mulai panik, lalu saya ingatkan si Kakak "Titan, uang Titan cuma sepuluh ribu ya, belanjaannya jangan lupa dihitung." "Oke, Nda!" Katanya penuh percaya diri.

Akhirnya, saya pun selesai berbelanja. Lalu, beriringan kita pergi ke kasir yang sama. Saya membayar duluan, baru Titan di belakang saya.

Ibu kasir asyik menjumlah semua barang belanjaan Titan yang semuanya berjumlah dua puluh enam ribu rupiah. Dengan tenang dan percaya diri (teteuuup), ia keluarkan uang sepuluh ribunya sambil senyum. Si embak kasir, tentu bingung dan menatap saya.

"Titan, uangnya nggak cukup. Semuanya jumlahnya dua puluh enam ribu, uang Titan cuma sepuluh ribu."

"Kok jadi dua puluh enam? uangnya kan sepuluh, Titan belinya cuma empat; Nda. Yakult, Yogurt, Kinderchoc sama Chitato. Harusnya masih ada kembalinya enam."

Saya tertawa, si Embaknya juga. Duh, seandainya saja antrian di belakang dia nggak panjang, pasti saya udah panjang kali lebar kali tinggi ngejelasin dia tentang jumlah nilai dan bukan jumlah barang dan pasti saya suruh kembalikan barang-barang dia yang berlebihan harga.

Sigh, tapi ternyata saya belum tega. Dan rupanya si Kakak juga belum siap.
Akhirnyaaaaaa, saya merogoh dompet dan menambahkanlah enam belas ribu untuk belanjaan Titan.

Maybe next time.

Mukanya yakin banget uangnya cukup.

lil' boss says....

Setiap hari kamu pergi ke sekolah diantar aki naik motor,
kamu selalu minta Bunda untuk mengantar sampai di pintu pagar.
supaya bisa kissie-kissie bunda, kissie-kissie adek bayi boink boink boink and throw a wave while saying "bubye bunda, happy-happy at the office!"

tapi hari ini enggak cuma itu.
kamu juga sisipin pesan lain.
"Jangan sakit lagi ya bunda, jangan sakit lagi kaya kemarin ya. sehat-sehat, k?"

awritey little boss!

*elus-elus kepala*

warming up

udah lama nggak manasin oven.
mixer aja sampai susah banget ngeluarinnya dari gudang.
plus hujan berjam-jam tanpa ampun
dan si bocah pengen masak sesuatu.
dengan bahan seadanya, dan yang ada di kulkas cemplang cemplung masuk ke adonan,
voila ... jadilah nougat - orange chocolate - oreo strawberry - and everything sweet in the fridge left overs - brownie.

hasilnya oke kok, buat hitungan penggunaan telur yang dingin asal ngambil dari kulkas dan bahan-bahan yang seadanya. Titan juga suka.

base resepnya dapat dari sini 



Kamits Manits





Paling enak itu, kalau nggak nyadar ada hari libur di tengah minggu.
Ditambah dengan matahari dan es lemon tea madu.

Asyiiik... bunda sakiiiiiit


i was infected by typhoid a few days ago (yes, no wonder i posted so much in the blog, cause it was the only thing i could do to get rid of those boredom on my bed). thank god the baby was (hopefully) strong enough to get rid all of the bacteria and antibiotics.

there i was lying down my bed, had a dizzy and feverish time with the non-stop gurgling sound from my tummy. the 28th week baby in the tummy moved less as well, maybe because of the 39 degree celcius fever that stroke me.

then there rushing through the door, my satellite did.

"asyiiiiik... bunda sakittttt.""lho, kok senang bundanya sakit?""jadi besok-besok pas titan pulang sekolah, bunda ada di rumah."

he smiled. i did too.

sometimes, a simple wish can be a very destroying one for the other. 
that's life. even when one does not know it. 


then he put off his socks and sat next to me.

"bunda boboan aja ya. nanti kalau mau minum, titan ambilin. kalau perlu apa gitu, titan ambilin. kalau mau lap-lap, nanti titan lap-in."

i smiled.

i asked him to make me a cup of warm chocolate milk.
and it taste the besssssst chocolate milk in the whooooole world!
thank you, son.
you are nearly six, but you master the how to take care a woman.

:)




Berhadiah payung cantik

Besok si bocah ulang tahun.
Sementara Aki Nininya sudah siap dengan sebongkah kado berukuran cukup besar,
ayah bunda dan bubunya masih clueless mau kasih apa.

Pas ditanya mau dihadiahin apa, jawabnya:
"Hmmm ... apa ya. Perjanjiannya hadiah mobil-mobilan Doc Hudson dan Vespa kan nanti kalau Titan beratnya udah 20 kan, ya? Hmmm... Titan minta payung aja deh, Nda!"

@__@ ... anakku absurd.

Menelaah Sekolah


Beberapa waktu terakhir ini, banyak yang tanya-tanya ke saya tentang gimana cara milih sekolah buat anak. Dengan senang hati, saya jawab sebisa saya. Bukan karena saya ahli pendidikan atau hobi belajar sih. Cuma saya tau banget bingungnya nyari sekolah yang pas buat anak. Dan karena sudah melewati fase itu, saya pengen juga berbagi sedikit.

Di awal saya selalu ngingetin, supaya kita nggak ‘ngarep’ terlalu banyak sama sekolah. Sebagai orang tua kita musti inget bahwa sekolah itu cuma fasilitator aja. Keluarga adalah tempat belajar yang utama dan bagaimanapun, semua itu tergantung sama anaknya. Karena itu, susah untuk menemukan sekolah yang bener-bener sejalan dengan apa yang kita mau. Walaupun pada akhirnya, dari sekian banyak sekolah itu kita harus memilih yang sesuai dengan prinsip parentig kita. Nggak usah semua, tapi satu atau dua prinsip terpentinglah paling tidak. Karena selebihnya pasti ada hal-hal yang harus  kita kompromikan.

Nggak jarang juga, sekolah-sekolah berprinsip bagus dikaburkan dengan mereka-mereka yang bergabung di dalamnya. Bahasa awamnya, dikaburkan dengan pergaulan. Baik pergaulan anak-anaknya maupun orang tuanya. Makanya saya sering bilang, yang paling enak untuk menilai sekolah adalah dengan terjun langsung ke sekolah itu sendiri. Jangan terlalu percaya sama review di internet. Ngobrol langsung sama anak-anak dan ibu kantinnya. Tanya-tanya langsung sama kepala sekolahnya. Biasanya justru yang seperti itu lebih insightful ketimbang dateng cuma ke acara Open Housenya (eh tapi penting juga datang ke acara Open House ini, karena biasanya suka ada diskon hehehehe).

Bicara soal prinsip, kita seringkali susah nyebutin apa prinsip kita sebenar-benarnya sebagai orang tua. Kadang kita cuma tau nggak pengen kaya gini atau kaya gitu tapi nggak bisa solid nyebutin pengen yang seperti apa. Inilah beberapa prinsip saya waktu memutuskan memilih sekolah Malicca dua tahun yang lalu.

Prinsip saya yang pertama, saya adalah orang yang realistis.

Saya bergerak mulai dari realita sistem pendidikan yang tersedia di Negara ini. Yaitu, sekolah nasional (negeri atau swasta), sekolah nasional plus atau sekolah internasional.  Sekolah nasional, yaitu sekolah negeri dan swasta yang menggunakan kurikulum pendidikan Indonesia. Sekolah internasional yang ada di Jakarta HANYALAH Jakarta International School, yang diperuntukkan untuk para expat dan mereka sama sekali tidak mengadopsi kurikulum nasional (enggak tau kalau sekarang mereka memperbolehkan WNI untuk sekolah di sini juga). Sisanya, itulah yang disebut sekolah nasional plus. Merekalah sekolah-sekolah yang mengadopsi kurikulum lokal dan kurikulum internasional. Jadi jangan percaya deh slogan-slogan Sekolah Internasional kalau di dalamnya masih mengadopsi kurikulum lokal dan masih mewajibkan ujian nasional (update terakhir tahun 2012 sih, departemen P&K masih mewajibkan siswa semua sekolah kecuali sekolah internasional, untuk ikut ujian nasional). Seringkali, embel-embel Cambridge, Montessori, IB, cuma jadi bahasa marketing aja. Home Schooling pun masih butuh ujian persamaan paket A, B atau C. Jadi intinya, selama masih tinggal di Indonesia realitasnya ya harus tetap berbekal ijazah nasional.

Saya adalah produk sekolah negeri. Walaupun saya lulus dari SMU yang berembel-embel ‘unggulan’ dan universitas yang katanya nomor 1, saya ngalamin sendiri sistem pendidikan yang cuma ngandelin nama besar. Karena itu, saya sama sekali nggak percaya dengan sistem pendidikan negeri di Negara ini. Sekolah Internasional juga a big No No. Kenapa? Plis deh, saya nggak nikah sama Mat Damon gitu loooh hahaha
Jadi, pilihan semakin sempit. Yaitu, saya ingin menyekolahkan anak di sekolah berkurikulum nasional plus. Emang sih, tetap ada kurikulum lokalnya dan dicampur dengan kurikulum lain. Belum tentu yang terbaik juga, but I will take the risk.

Realita yang ke dua adalah, saya malas bangun pagi dan keadaan lalu lintas Jakarta makin nggak bisa diprediksi. Jadi, pilihan semakin sempit hanya pada sekolah-sekolah yang tersedia deket rumah. Paling nggak, nggak perlu berangkat sekolah di pagi buta. Kasian anaknya juga kan.

Realitas yang ke tiga adalah, budget. Enuf said, rite?

Prinsip yang ke dua, saya ingin anak-anak saya tahu apa yang mereka inginkan dalam hidup dan mau mengusahakannya.

Alasan ini personal banget sebenernya. Karena saya melihat banyak sekali orang-orang di sekitar saya yang nggak tau apa tujuan hidupnya. Mau kuliah aja bingung ambil jurusan apa. Akhirnya ikut temen-temen ambil jurusan yang sama. Udah lulus kuliah, bingung lagi mau kerja dimana. Giliran udah kerja, bingung lagi kenapa karirnya kok gini-gini aja. Akhirnya berhenti kerja trus pengen jadi pengusaha. Tapi, kemudian bingung juga harus mulai darimana. Akhirnya, nggak kemana-mana juga.

Karena itu, saya pengen banget masukin Malicca ke sekolah dimana dia bisa bebas berkehendak. Nggak terlalu dikungkung peraturan. Belajar memilih pilihan dalam hidup dan belajar menjalani setiap konsekuensinya.

Prinsip yang ke tiga, anak adalah anak. Mereka bukan saya dalam bentuk kecil.

Mereka pribadi yang berbeda dengan saya dan saya nggak bisa memaksakan nilai-nilai saya. Karena itu, saya ingin sekolah yang menghalalkan anak untuk menemukan hal dengan cara mereka sendiri dan memiliki pemahaman sendiri tentang sesuatu.

Jujur, hal ke tiga ini yang paling sulit karena perlu observasi panjang untuk mengenal karakter anak. Setiap ada Open House dan kesempatan untuk trial, saya selalu mendaftar. Terus saya tanya Titan tentang pendapatnya. Dari cerita-cerita dan cara dia bercerita, saya mendapatkan gambaran sekolah seperti apa yang kira-kira bisa cocok buat Titan.

Perjalanan mencari sekolah ini bertahun-tahun lamanya. Kadang, trial di sebuah sekolah bisa sangat berdampak besar pada anak. Padahal, dia kan cuma dateng sekali aja.

Salah satu trial yang cukup mengesankan adalah trial di sekolah Discovery Center di Cipete. Kita cuma sekali datang trial ke sana. Kita tetap mencoba datang, walaupun kita tahu nggak akan sekolah di sana. Hanya untuk mempelajari anak dan sistem di setiap sekolah. Tapi ternyata, datang ke sekolah itu jadi milestone buat Titan dan keliatan banget perubahannya setelah dia datang ke sekolah itu. Padahal, kayanya nggak ada yang spesial dengan Discovery Center kecuali sekolahnya diadain di rumah dan setiap aktivitas dibedakan menurut cluster. Gurunya juga bukan tipe drilling, tapi mampu memanage anak-anaknya. Dari situ saya belajar, bahwa anak saya ini bukan tipe yang bisa sekolah formal harus duduk rapi di kelas (walaupun pada realitasnya dia bukan anak pecicilan), karena dia sungguh pembosan. Dia butuh ruang untuk bereksplorasi sendiri dan tidak menyukai keseragaman aktivitas. Dia nggak suka duduk dan bernyanyi bersama, tapi dia suka duduk dan bernyanyi sesuai giliran. Dia nggak terlalu tertarik dengan aktivitas yang mengasah gross motoric skill (skill kasar)I main trampoline, berlari,  tapi dia lebih tertarik dengan aktivitas yang mengasah soft motoric skill (skill halus) seperti memperhatikan dawai gitar, ke pet zone atau mengobrol.

Dari situ saya belajar, bahwa keseharian karakter anak belum tentu menentukan cara belajarnya.

Kemudian, pernah juga saya tertarik dengan konsep sekolah alam. Tapi letaknya jauh banget. Dan saya pikir-pikir, Titan juga tumbuh di lingkungan yang nggak terlalu steril. Tinggal dekat dengan aki dan nini, Titan jadi terekspos dengan banyak binatang dan pepohonan besar. Ikut bantu-bantu aki kasih makan ayam, kasih makan ikan, nyangkok pohon, main sama monyet, anjing, kucing, kelinci, ketemu laba-laba, ular (kadang-kadang), kena ulat bulu, manjat pohon, dan main sepeda di danau kota, … kayanya semua itu cukup mengekspos dia dengan alam.  Belum lagi acara memancing rutin di empang Aki Mumu di Pandeglang. Konsep terjun langsung menghargai alam kayanya sudah bisa dia dapetin dari kakeknya.

Pernah saya ditanya kenapa nggak dimasukin ke sekolah Islam. Lalu saya tanya balik.  Sebenernya buat siapa sih kebutuhan memahami Islam itu? Kalau masukin anak ke sekolah Islam hanya untuk membagi tanggung jawab orang tua supaya beban mendidik pendidikan agama bisa digantikan oleh sekolah, itu yang saya nggak setuju. Pendidikan agama kan tugas dan kewajiban orang tua. Itu alasan saya kenapa Titan nggak saya masukkan ke sekolah Islam. Selebihnya sih karena masalah teknis aja, ujiannya ribet karena banyak banget subjek yang harus diujikan. Lagipula, saya lebih suka pendidikan yang sifatnya sekuler atau nggak ada pelajaran agamanya. Biarlah agama menjadi sesuatu yang sifatnya pribadi dan tetap khusyuk dan tetap menjadi tanggung jawab internalisasi orang tua dan anak.

Akhirnya, setelah bertahun-tahun mencari dan mencoba, saya menemukan sekolah yang sesuai dengan apa yang saya inginkan. Tapi apakah kemudian saya menjadi puas? Enggak juga. Saya tetap merasa sekolah yang saya pilih juga ada kurangnya, dan saya harus bisa menambal kekurangan itu. Caranya, ya dengan ikut belajar sama anak dan terus memperluas wawasan. Untungnya, pihak sekolah selalu mengirimkan silabus kurikulum di setiap term. Jadi, saya juga bisa browsing-browsing mencari materi pendalaman.

Lantas apakah membuat Titan jadi rajin bangun pagi dan berangkat ke sekolah dengan serta merta karena sekolahnya telah berhasil membuatnya senang bersekolah? Enggak juga. Saya yakin sesuatu yang rutin lambat laun akan jadi sangat membosankan. Tapi saya sangat senang dan bangga, karena kalaupun Titan memutuskan untuk bolos sekolah; dia tahu kenapa dia melakukan hal itu dan tahu apa konsekuensinya.

Just like what he told his teacher a few days ago when he decided to bail out from school

“Hello Miss, this is Malicca from K-1/B. Hari ini aku nggak masuk sekolah ya, soalnya bosen. Pelajarannya lagi susah. Titan tahu kalau titan nggak masuk akan ada unfinished, tapi nanti akan Titan kerjain; 
dicicil besok-besok tapi bukan hari ini.”


I love messy wall at school

You want it, work for it



Seekor burung kecil pernah berkata, berusaha menjadi ibu yang baik itu bukan berarti harus selalu berada di samping si kecil. Tapi, dengan menjadi sensitif akan setiap perkembangannya. 

Hehehe, ibu-ibu yang bekerja boleh lega dengernya. Ya kan, ya kan, ya kan? *big grin*


Beberapa hari yang lalu, aku nemuin gambarnya Titan yang ini. Entah kenapa, rasanya beda ngeliat gambar yang satu ini. Dia emang selalu gambar macem-macem, tapi yang ini kayanya spesial karena ada tulisannya dan ada keinginginan yang tersirat di dalam tulisan itu.

“Gerobak bubur punya Titan soalnya Titan pengen punya uang.”

Aku senyum-senyum sendiri ngeliatnya. Dalam hati lega juga, kayanya diem-diem anak ini mulai ngerti konsep usaha. Kalau mau sesuatu, ya harus usaha. Kalau mau dianalisa lebih dalam lagi, anak ini mulai ngerti konsep uang sebagai alat tukar untuk memenuhi keinginannya. Darimana datangnya uang, ya tentu dengan bekerja. Dalam gambar ini, ya dengan jadi tukang bubur.

Burung kecil yang lain lagi pernah berkata, ngajarin anak itu memang lebih mudah kalau memang sudah waktunya. Kapan? Ya saat mereka sudah siap.

Nah, being a paranoid mom to prepare my kids to be ready for their future (yeah, I always do), kayanya sekarang Titan udah siap untuk mulai diajarin managemen keuangan. Pas banget dengan tema term 4 di sekolahnya, dimana akan ada yang namanya Bussiness Day.

Keluar dari tema gambar di atas, Bussiness Day ini adalah kegiatan di akhir term di High Scope dimana anak-anak dari kelas play group sampai kelas tertua, belajar berbisnis. Setiap kelas harus bisa berhasil merembukkan barang apa yang akan mereka jual lalu mereka harus membuat proposal untuk mendapatkan modal dari sekolah. Kemudian pada hari H, akan ada bazaar dimana orang tua akan datang dan melihat-lihat. Tentunya, dianjurkan untuk membeli. Setiap anak akan berbagi tugas mulai dari keliling nyebar leaflet, jadi kasir, jadi penjual, … aku udah ngebayangin pasti lucu banget beli jualanan anak-anak TK yang bisa dibohongin hahahaha. It happened, tahun lalu ada kelas yang merugi karena salah kasih kembalian atau uang berceceran kemana-mana J

Kembali ke topik, no wonder Titan lagi senang main jualan-jualanan di rumah. Dulu, aku juga sering ngajak dia main jualan-jualanan kaya ini. Malah dengan usaha yang lebih, pake troli-troli an dari kursi beroda, bikin uang-uangan dan setiap barang dilabelin harga.  Tapi dulu Titan cuma seneng milih barang-barangnya dan males banget kalo disuruh ngitung.  

Sekarang, dia yang lebih banyak usaha. Dia yang bikin stall berdasar kategori. Dia juga yang bikin uang-uangannya pake pake kertas digunting-gunting. Dan kalau biasanya dia yang jadi pembeli, sekarang dia lebih suka jadi penjual dan ngitung uangnya.

Dulu, temanku, seorang Financial Planner, pernah ngajarin aku gimana cara sederhana ngajarin anak prinsip-prinsip memanage uang. Kita semua pasti diajarin gimana caranya supaya pintar nyari uang. Tapi banyak yang lupa gimana caranya ngajarin belanja yang pintar.

Pada prinsipnya, anak (baca: kita) bisa memiliki apa aja. Tapi enggak semuanya harus sekarang. Karena itu, mereka (juga kita) harus mengenal mana yang jadi prioritas utama atau cuma sekedar buat ngelengkapin aja. 

Caranya ternyata simpel.

Pertama, kalo kita ke supermarket dan ngajak mereka, biasain dengan memisahkan troli atau keranjang belanja kita dan mereka.
Ke dua, bekali mereka dengan uang belanja untuk kebutuhan mereka secukupnya. Ke tiga, biarkan mereka belanja sepuasnya.
Ke empat, biarkan mereka membayar di kasir yang berbeda tapi tetap diawasi. Biasanya sih, mereka akan belanja kebanyakan. Jadi, biarkan mereka memilah sendiri di kasir mana barang yang bener-bener mereka butuh / mau yang cukup dengan uang yang mereka punya dan jangan lupa ajarin untuk ngembaliin kembali ke raknya (Catatan: emaknya gak boleh gak tega ya dengan ngasih tambahan uang!)

Hmmmm, I think my satellite is ready for the first lesson.

Setelah tahap pertama ini, temenku itu pun lalu melanjutkan. Kalau anak-anak sudah terbiasa untuk memilih prioritas, ajarin mereka untuk selalu bikin catatan setiap kali kita mau ajak mereka belanja ke supermarket. Dari situ, kita bisa mengira-kira berapa dana yang mereka butuhkan dan apakah mereka bisa berkomitmen dengan plan mereka. Well, ya mereka harus bisa sih. Karena dari situ baru bisa melangkah ke tahap ke tiga.

Di tahap ke tiga ini, anak-anak mulai bisa dikasih uang jajan mingguan. Yang tentunya enggak besar ya. Tujuannya adalah untuk ngebiasain mereka untuk nge-set plan jangka panjang dimana mereka harus bisa ngumpulin dana dalam waktu yang nggak sebentar. Di dalam tahap ini, tentu bisa dimodif gimana caranya supaya uang yang mereka kumpulkan bisa berputar lebih cepat dan menghasilkan lebih banyak.

“Tenang, ini bukan kerjaan 1 -2 taun kok.” Kata temenku itu. “It’s a lifetime journey, Wuy!” Katanya.

Ya, tapi kan langkah awal itu selalu langkah yang terberat. But this is life. You want it, work for it! I grew with the term, and so I will do it to my kids as well.






Perlahan, ... tapi jalan.

  Usia 40-an tuh...  kayak masuk bab baru yang nggak pernah kita latihanin sebelumnya. Ternyata bener ya, apa yang Rasulullah bilang... di u...