The horrifying era.

Akhir-akhir ini, sering kepikiran soal masa pensiun. Saya bekerja sekitar 13 tahun. Kalau dihitung usia pensiun dari umur 55 dan saya hidup sampai umur 80 tahun, berarti ada 25 tahun masa pensiun yang harus saya biayai. Itu kalau saya berhenti bekerja di umur 55. Karena saya berhenti bekerja di umur 34, maka jumlah tahun tidak produktif saya menjadi 25 ditambah 21 tahun.

Yep, 46 years in total.

Tinggal berdekatan bersama orang tua yang sudah belasan tahun pensiun, sedikit banyak membuka mata saya. Hidup di usia tujuh puluhan dan bersahabat dengan suplemen. Melihat anak-anak beranak pinak dan ikut memikirkan masalah mereka yang semakin pelik; lebih pelik daripada memikirkan mau memilih sekolah dimana saat mereka kecil dahulu. Kebosanan yang amat sangat ketemu pasangan terus menerus dan berdiam di rumah berzaman-zaman (bukan lagi berjam-jam). Belum lagi perasaan sensitif karena post-power symdrome, jadi melihat segala sesuatu termasuk kritikan menjadi negatif dan menyalahkan diri sendiri. Atau perkembangan di sisi lainnya, menjadi lebih patronistik dari sebelumnya.

Oh, I don't know whether I can handle those.

Kalimat 'Semua sudah ada takdirnya' terkadang memang menenangkan. Tapi seringnya, menghanyutkan. So still, they got me thinking. A lot.

Bekerja itu selalu baik. Selalu. Karenanya setiap main job atau side job harusnya bisa dipikirkan untuk menjadi bekal saat tua. Usaha apapun yang kita lakukan hari ini, walaupun kecil, seharusnya bisa jadi celengan utuk masa depan. Kadang hal ini juga yang jadi tendangan buat saya saat malas mengaduk caramel. Karena, masih sangat tergantung mood dan memanjakan keadaan saat saya sedang tidak memungkinkan untuk mengaduk gula.

Tapi ya gitu deh, seringkali kata MALAS memang menjadi raja. Selalu, bukan?

Kemudian saya juga berpikir tentang pentingnya menemukan hal yang kita sukai dan bergabung dalam sebuah komunitas. Supaya ada celah venting-out kala kita berusia tujuh puluhan dan memiliki pikiran 'hidup ya gini-gini aja' ... alias ... bosaaan.

Saya masih ingat sebuah kejadian beberapa tahun lalu saat masih bekerja. Di sebuah makan siang, ramai-ramai sama teman-teman. Tiba-tiba, datanglah seorang ibu yang ternyata ibu dari teman saya yang memang janjian untuk ketemuan di restoran itu. Dan tiba-tibanya lagi, tahu-tahu kita semua ditraktir sama ibu teman saya itu. Saya langsung salim. Kontan ibu itu jadi salah satu idola dalam hidup saya. Saya ingin menjadi seperti dia. Di saat yang sudah renta, masih bisa masuk sendiri ke restoran; ikut ngobrol sama teman-teman anaknya dan mentraktir mereka seperti beliau mentraktir anak-anak kecil di McD.

Yes, that power.

Kebayang gak sih kita ngejalanin masa tua tanpa kekuatan itu (lagi)? Tanpa power untuk sehat? Tanpa power to finance ourself (and our loved ones)? Tanpa those small treats, not necessarily a big vacation trip? Trus kita hanya hidup meratapi diri dan menerima belas kasihan anak-anak yang menghidupi kita? Then how can we earn that power if we do not start it from now? Damn, ... gue benci deh sama kata satu ini: investment! Tapi memang sehat dan uang itu adalah masalah investasi *nangis di pojokan*.

And me being me, yang setelah menulis ini bakal kembali menjalani hari dengan biasa aja, berbisik doa buat masa pensiun nanti.

Semoga saya diberi rasa syukur yang besar akan setiap rezeki yang saya dapat. 
Semoga saya tidak menjadi sensitif dan masih dapat berjiwa besar sekalipun dihidupi anak. 
Semoga saya diberi kemampuan untuk legowo atas semua hal yang pernah saya punya dan kini tidak ada lagi di hadapan mata (dan di dompet, tentunya).

Amin. 









Comments