Hari ini, saya merasakan kekuatan cinta

Setelah kegagalan saya dengan bahtera (ciyeee) perkawinan saya yang pertama, agaknya saya jadi berhenti berharap akan sesuatu. Hmmmm, maksudnya, I do believe in hope, yes. But not to expect. Setelah turn-over besar dalam hidup saya itu, saya berusaha untuk ngejalanin aja kehidupan apa adanya. Apa yang bisa dilakukan, ya dilakukan. Kalau kepengen sesuatu dan mampu, ya dapetin. Yang jelas-jelas terlihat dan terasa ajalah, udah enggak mau lagi set up target yang gimana-gimana.

Itu juga yang membuat saya memutuskan untuk berhenti kerja kantoran: karena pada saat itu memang saya lebih dibutuhin di rumah. Iseng-iseng punya bisnis kecil ya anggap aja bonus, karena memang enggak pernah terpikirkan sebelumnya. Mungkin itu sebabnya bisnis yang bentuknya kecil di mindset saya; tetaplah kecil. Belum terpikir untuk menjadikannya besar dan meraksasa. Niat saya, bisnis kecil itu tetap berjalan sampai Luna besar. Kali-kali aja seiring waktu, caramel bebikinan bisa jadi seperti nutella saat Luna punya cucu nanti.

Selama saya berpasrah pada alur hidup, justru sepertinya malah banyak kejutan yang menyenangkan yang bikin hidup jadi lebih hidup. Seperti beberapa bulan yang lalu, dimana seseorang menelfon saya dan meminta untuk bergabung menjadi bagian dari sebuah tim kerja. Terus terang, saya enggak percaya dengan kemampuan saya. Tapi, kemudian saya pikir mungkin inilah jalan yang harus saya jalani. Toh saya tidak pernah mencari, tapi kesempatan ini datang sendiri. Lagipula, saya selalu memikirkan tentang bagaimana bekerja memakai baju kebesaran saya: daster!

Jadi, ... mungkin memang inilah jalan yang sudah ditentukan Tuhan untuk saya. 

Ternyata, langkahnya memang tidak mudah. Untung deh, saya udah kadung terbiasa untuk enggak berharap. Setelah dihitung-hitung, ternyata proses rekrutmen dan segala perintilannya memakan waktu lebih dari tiga bulan. Pakai tes pula, hadeuuuuh. Sempet juga nih merasa terhina karena pakai acara tes-tesan segala. "Plis, deh!" bathin saya. Tapi setelah menjalankan tes itu, saya jadi sadar bahwa ternyata memang kemampuan saya tidak secanggih yang saya bayangkan hahaha. Jadi, ... ya sudahlah ya. Bekerja dari rumah kayanya cuma akan jadi impian saya aja yang entah kapan bisa kejadian.

Lalu, saya pun kembali mengaduk gula. 

Hingga akhirnya kemudian saya ditelfon kembali. Mengatakan bahwa saya berhasil masuk ke dalam tim kerja dan harus mengikuti onboard training yang diadakan di Jakarta tiga minggu mendatang. Saat itu, saya sempat patah arang. Selain sudah terlalu lama, bisnis kecil saya pun lagi seru-serunya. Ditambah lagi, enggak ada yang bisa dititipi La Luna. Akhirnya, saya bilang bahwa saya belum bisa mengkonfirmasi kehadiran saya dalam training tersebut. Tapi mereka sabar, dan bilang bahwa mereka tetap menunggu dan tetap berharap saya bisa ikutan.

Akhirnya, setelah melihat kemungkinan yang ada, saya memutuskan untuk ikut training tersebut. Hanya satu setengah hari dan ini langkah terakhir saya dari langkah panjang yang sudah saya mulai beberapa bulan sebelumnya. Langkah demi langkah. Email demi email. Interview demi interview. Lagipula saya teringat pesan ayah saya "Jangan memulai sesuatu yang tidak bisa kamu akhiri."

Akhirnya saya memutuskan untuk membiarkan alur kali ini mengambil arah destinasi saya.
"This e-mail is just to confirm my attendance on the training. See you." tulis saya kepada salah satu project manager.

Jauh hari, saya persiapkan La Luna untuk dititipkan pada mbak partimer yang suka bersih-bersih di rumah. Jauh hari, saya siapkan siapa yang akan antar - jemput Titan, memberi tahu pihak sekolah, dan saya siapkan juga rencana bagaimana membagi dua mas ojek langganan dengan suami (iya, karena saya dan suami sama-sama memiliki traffic endurance yang semakin parah untuk menyupir mobil sendiri).

All is set. Itu yang saya pikir sampai pada delapan belas jam terakhir sebelum training: tiba-tiba La Luna demam! Si bocah masih pecicilan sampai akhirnya dia saya peluk karena mau disusui. Hap, ... 38,8 derajat saja. Saya bingung bukan kepalang. Mau dibatalin ikutan training kok rasanya enggak mungkin, tapi kalau La Luna ditinggalin rasanya makin tidak mungkin lagi.

Semalaman saya berharap demamnya akan mereda. Tapi ternyata, saya enggak belajar juga dari berharap. Demamnya malah makin menjadi. Akhirnya dini hari saya langsung menghubungi project manager untuk pasang badan. Bilang anak sakit dan entah harus bagaimana. Kali-kali aja ya, dia punya jawaban. Bagus kalau training diundur hahaha.

Tapi ternyata, kita memang enggak bisa membiarkan orang lain yang menentukan pilihan. Apalagi orang asing yang enggak tahu apa-apa tentang keadaan kita, ya kan? Akhirnya, saya tanya suami. Tapi, seperti biasa, dia hanya berkata "Terserah Bunda."

Ah, gak bantu juga deh :'(

Tapi ternyata, sikap suami saya untuk membiarkan putusan ada di tangan saya, justru saya lihat sebagai betapa besar cintanya sama saya. Dia percaya bahwa saya bisa mengambil keputusan sendiri dan meminimalisasi resiko menyakiti / merepotkan orang lain, dan dia akan mendukung keputusan apapun yang saya buat. Ditambah lagi Titan yang tiba-tiba bilang gini "Bunda tenang aja, titan nanti berangkat dan dijemput di sekolah sama aki. Terus, pulang sekolah Titan ajak main La Luna terus supaya dia enggak inget-inget Bunda." Sebagai penutup, ibu saya pun ikut berkata "Minum obatnya jam berapa aja? Udah, yang lain gimana nanti."

Saya tercenung. Meninggalkan seorang anak berusia 16 bulan yang sedang demam dan tidak pernah lepas dari ibunya sejak dia lahir ke dunia selama satu setengah hari. Mungkin kedengerannya biasa aja. Yang bikin enggak bakal biasa ngadepinnya adalah, bahwa La Luna masih menyusu pada saya, dan yang dicari bukan susunya melainkan kenyamanannya mengemut puting. Jadi, ngebayangin dia bakal uring-uringan nyari 'nenen' aja udah males banget. Ditambah lagi pake demam!

Tapi melihat dukungan dan kekuatan cinta yang diberikan ariawan, Titan dan kedua orang tua saya yang akan menjaga La Luna hari itu (karena si mbak partimer tiba-tiba flu berat), saya memberanikan diri untuk membuat keputusan tiga jam sebelum training dimulai: saya akan tetap ikut. Toh, saya bisa meninggalkan training tersebut dan mengundurkan diri kapan saja di hari itu.

Saat training, Saya berusaha untuk tidak mengingat-ingat La Luna. Katanya, supaya si anak juga enggak rewel saat ditinggalin. Dan, tidak ada sedikit pun kabar dari orang rumah. Kalaupun ada kepanikan, kalau enggak kepepet amat, pasti ibu saya dilarang oleh ayah saya untuk menelfon. Training satu setengah hari berjalan lancar seperti enggak ada kejadian apa-apa. La Luna masih tetap demam.

Di hari ke dua, setelah mengikuti training yang hanya setengah hari, hari saya berakhir di UGD karena tiba-tiba panas luna melonjak hingga 39,6. Anehnya tuh anak masih bisa pecicilan, jadi dokter anaknya juga tenang-tenang aja. Disimpulkan bahwa La Luna terinfeksi virus yang jenisnya masih harus ditunggu sampai besok sore untuk cek darah.

Keesokan harinya adalah hari paling deg-degan selama tahun ini. Menunggu-nunggu apakah La Luna akan demam kembali sehingga dia harus cek darah, atau tubuhnya sendiri yang akan memberi tahu jenis virus apa yang lagi melanda. Alhamdulillah, tidak ada demam lagi selepas 72 jam. Dan kemudian timbullah merah-merah di kulitnya. Oh, La Luna lagi kenalan sama roseola.

Saya bersyukur dengan kekuatan cinta di sekeliling saya. Dan saya makin bersyukur dengan kesempatan saya untuk bekerja di rumah dengan menggunakan daster favorit saya, sambil menyusui, sambil menemani Titan bikin PR, sambil masak sayur.

Anyways, ... hello Cupertino!

Comments

  1. wullie is back in business! wihiiiy!

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Yana : I miss blogging and I miss you! :'(

      Delete
  2. Anonymous11.12.14

    hi Wur, dah lama nggak update berita, sehat selalu ya. ;-) Engky

    ReplyDelete
    Replies
    1. @Engky : Hlah, kok bisa nyasar ke blog aku? :) ... sehat selalu juga buat kamu yah!

      Delete

Post a Comment