Harga diri lelaki
Hari ini panas banget. Matahari lagi sale besar-besaran
rupanya. AC udah pol gini, masih aja berasa panasnya menyengat di muka. Mana
macet pula. Pipi kanan jadi konstan kena paparan sinar matahari, cocok jadi
alas panggangan roti.
Tanganku lurus memegang stir. Ngebayangin rasanya nyetir
mobil impian yang nangkring di sebelah. Volvo XC70 tahun 2008 * bukan merk
sebenarnya *. Blah, tuh mobil udah 4 tahun yang lalu launching, masih aja belom
kebeli-beli sampe sekarang.
Tapi inilah salah satu hiburanku kalau terhadang macet. Liat
kiri-kanan memperhatikan mobil-mobil impian yang lucu. Kadang ternganga-nganga
sendiri, lebih seringnya sih senyum-senyum sambil berkata dalam hati “Lucu juga
ternyata si mobil itu. Ganti itu aja apa ya… ah tapi sayang ah” – kemudian
hening dan tidak ada suatu tindak lanjut apapun. Klasik.
Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah sticker di Kopaja. Nah,
ini juga salah satu hiburanku nih. Maklum, secara kerjaan jadi copywriter ya
Cyin… wajib hukumnya mencerna sticker-sticker penuh hiburan yang ditempel di
kaca belakang Kopaja atau Metromini.
“Harga diri lelaki terletak pada pekerjaannya.” Itu kata
sticker si Kopaja.
Jleb jleb jleb, ketusuk kata-kata itu lebih menyakitkan
daripada ketusuk pisau beneran – asal jangan ketusuk sampe mati ya.
Mau enggak mau, setiap orang di permukaan bumi ini memang
harus bekerja. Ya iyalah, itu udah fitrahnya. Anak burung aja tau diri, bahwa
ibunya enggak akan nyuapin dia terus. Suatu hari nanti dia harus usaha
menyambung hidup sendiri.
Tinggal di Jakarta, sebenarnya sudah merupakan kelebihan
tersendiri. Coba, apa sih yang enggak laku dijual di kota ini? Mulai dari jualan
aneka patung (terdiri dari patung kuda, patung Yesus dan abjad Hijaiyah
berlafalkan Allah) yang dijual di lampu-lampu merah, keripik singkong dengan
kadar MSG tingkat dewa yang tetap aja lulus badan POM, jualan cireng atau cilok
yang bermodalkan sagu, sasa dan saos pewarna, sampe jualan ide abstrak.
Jadi, sticker itu memang benar adanya. Alasan apa lagi yang
bikin laki-laki enggak bekerja? Salah siapa, kalau enggak ada sesuatu pun dari
diri ini yang bisa dijual? Kalah sama cilok, lu!
Kembali ke harga diri, … mungkin bagi sebagian orang harga
diri itu terletak dari keteguhannya untuk tidak mau bekerja dibawah perintah
orang lain. Well, … kalau terlahir jadi anaknya Bakri * bukan nama sebenarnya *
sih monggo ya. Tapi aku yakin, seorang Anindya Bakri pun * bukan nama
sebenarnya * enggak gini-gini amat. Tapi justru seringnya, manusia-manusia
seperti ini justru berawal dari mimpi dan hanya mimpi tanpa tahu bagaimana
mewujudkannya dan bagaimana mengukur rasio kemampuan dan keberhasilan.
Istilah kerennya sih, “Enggak ngaca, cyin.”
Mau single atau berkeluarga, status pengangguran terselubung
ini emang nggak keren. It is just wrong
in many levels. Hanya saja, kalau udah berkeluarga, efek kehancurannya
memang lebih dahsyat.
Anehnya, mereka-mereka ini suka merasa enggak ada yang
salah. You know why? Karena mereka selalu punya alasan gini: “Aku kerja kok.
Cuma ya memang kliennya enggak selalu ada.” Atau “Aku self-employed, I work anytime or anywhere I want.”
Yea rite, … denial is
not the only river in Egypt – dikutip dari Antologi Rasa.
Jadi gimana dong?
Ya enggak gimana-gimana.
Berdoa aja supaya lelaki-lelaki itu sadar bahwa mereka salah jalan.
Berdoa aja supaya mereka dapat hidayah dan orang yang terkorbankan diberi
kesabaran dan kelapangan dada menerima kenyataan bahwa mereka hanyalah korban.
Bahkan anak-anak mereka, semua jadi korban. Kita mau ngomong apa sama
orang-orang yang tega mengorbankan anak sendiri? Ngomong sampe kejang juga gak
akan bikin mereka berubah.
Tiba-tiba kusadari dadaku berdebar-debar menahan emosi.
Stiker itu menusuk hati banget. Tak sadar tanganku segera menyambar ponsel di dashboard dan otomatis menekan sebuah
nomor.
Ah, ada suara lelakiku di ujung sana yang selalu berhasil
membawaku menapak bumi dan menghentikan semua kinerja hamster-hamster di
kepala.
“Tin tiiiiiiiiiiin!”
Kata suara dari mobil belakang.