Sang Penjaga

"Aku sudah memaafkanmu."Kata perempuan itu. Dan saat itu juga, sebuah pintu entah dari mana datangnya tiba-tiba menganga. Lalu menyemburlah bias-bias cahaya yang mendesing beribu sumpah serapah kepada laki-laki di seberang perempuan itu.

Malam itu begitu gelap. Tidak terdengar apa-apa selain derap suara kaki kuda yang sayup-sayup terdengar di kejauhan, namun tidak pernah terlihat wujudnya. Jalan di depan begitu sempit dan tertutup dengan pasir serta rerumputan kering yang merunduk seolah tergilas oleh kereta-kereta kuda yang tak pernah terlihat itu. Setiap kita menghembus nafas, asap kabut mengepul seolah malam itu begitu dingin. Kadang aku menggigil, tapi karena takut. Kutemukan diriku berkeringat, bukan karena langkahku yang menderu; tapi karena dadaku yang berdentam begitu kencang.

Pernahkah kamu mendengar tentang penjaga perempuan? Bukan, bukan perempuan penjaga. Perempuan penjaga, yang aku tahu, begitu cantik rupanya. Ia menjaga setiap insan di dunia. Dialah ibunda, dialah perempuan penjaga.

Sementara penjaga perempuan, tak terperi rupanya. Kamu tidak akan pernah bisa menduga seperti apa rupa penjagamu karena mereka berbeda-beda, tergantung siapa yang mereka jaga. Dialah bentuk terburuk sekaligus terkuat.

Ya, mereka menjaga setiap perempuan yang berdiri di muka bumi.

Dulunya, mereka adalah doa-doa. Mereka melayang-layang dengan lembut di udara. Seperti ubur-ubur lembut di tengah samudra, berenang-renang kesana kemari tak tentu arah. Menunggu. Kadang mereka menggelitik siapapun yang tak sengaja bersentuhan dengannya. Lalu, saat seorang ibu mengejan untuk mengeluarkan setiap bayi bayi dari rahimnya, leher mereka seperti tercekik. Lalu mereka terenggut dan ikut terlahir bersama bayi-bayi tersebut. Hanya saja, dengan bentuk yang jauh berbeda.

Dulunya, mereka juga adalah penjaga laki-laki. Mereka mengajarkan laki-laki bagaimana untuk menjadi berani dan mengajarkan bagaimana menjaga ibu dan semua perempuan-perempuan yang berdiri di muka bumi. Sayang, mereka lalu terbunuh oleh mimpi. Mimpi-mimpi kotor penuh   mani yang menggelontor dan menyebabkan mereka tenggelam. Sejak saat itu, laki-laki ditakdirkan untuk menjaga dirinya sendiri. Ya, sendiri.

Sebagian dari mereka tetap menjaga perempuan. Setiap rasa sakit yang dialami oleh perempuan adalah doa yang membuat mereka semakin kuat. Dan setiap menstruasi, penjaga-penjaga perempuan itu seperti terlahir kembali. Mereka tak pernah mati, dan setia melindungi sang perempuan hingga mereka mati.

Tiba-tiba derap kaki kuda itu mendekat ke telinga. Begitu dekat hingga aku menyadari bahwa itu bukan suara derap kaki. Tapi penggal nafas yang terasa panas dan sayup-sayup terdengar ribuan mulut membisikkan sebuah kata berkali-kali, lagi dan lagi.

"Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati...."

Aku teringat sesaat sebelum aku berada di sini. Aku menangis karena sakit. Aku menangis karena cinta. Dan aku menangis karena aku berhasil memaafkan laki-laki yang berdiri di hadapanku.

Aku memaafkannya, tapi tidak dengan penjaga-penjagaku. Dan saat itulah pintu lorong tiba-tiba terbuka dan membawaku kemari, tempat dimana aku harus berperang dengan penjagaku sendiri.



Photo by Annie Leibovitz

Comments