Cawan Rindu

Kamu dan aku, dengan gelas di hadapan. Milikku adalah panas menggelegak dengan sebongkah gula manis tenggelam di dasar cairan pekat tapi masih tembus pandang. Beberapa kuntum melati kering mengambang di permukaannya. Aku pun menunggu hingga kepulannya mereda hingga bisa kuseruput dengan ujung-ujung bibirku yang mulai mati rasa.

Milikmu adalah segelas besar dengan asap yang juga mengepul dan butiran-butiran keringat meleleh di dindingnya. Juga pekat namun masih tembus pandang. Sekilas seperti minuman di hadapanku, tapi bukan. Ada sedikit buih menari-nari terombang ambing di permukaan mengikuti ayunan tangan sang pemilik gelas.

Kuseruput pelan minumanku. Oh, minumanmu pun terguncang lagi. Ia mengalir membasahi bibirmu yang membiru di musim dingin dan mengguyur ujung-ujung syaraf di lidahmu yang kelu karena nikotin. Milikku juga mulai mengalir membasahi tenggorokanku, juga melalui ujung-ujung syaraf di lidah yang juga beku, rindu saling menyentuh lembut, bertaut dan berpagut.

Ada hampa.
Ada sepi.
Ada penat.
Ada asa.
Ada semua rasa diantara tegukan. Di setiap jonjot urat tenggorokan.
Terlebih lagi, rasa kamu.

Kedua jemari pun mulai menari. Bergoyang kesana kemari sembari menerima kode dari kepala. Sebuncah pikiran yang bertemu dengan pikiran lain sampai akhirnya beranak pinak dan bercabang seenaknya berlalu-lalang. Lalu jari-jemari lincah ini pun menangkap kode-kode dari kepala dan mulai bergerak. Mendekat. Meraba. Menghantarkan rasa.

Aku.
Jemariku menari di atas keyboard menuang rasa akan kamu.

Kamu.
Jemarimu menari di atas jemarinyan, menggenggamnya erat dan mengajaknya pergi. Membuncahkan nafsu merindukanku.

Comments