Posts

Showing posts from May, 2011

Cawan Rindu

Kamu dan aku, dengan gelas di hadapan. Milikku adalah panas menggelegak dengan sebongkah gula manis tenggelam di dasar cairan pekat tapi masih tembus pandang. Beberapa kuntum melati kering mengambang di permukaannya. Aku pun menunggu hingga kepulannya mereda hingga bisa kuseruput dengan ujung-ujung bibirku yang mulai mati rasa. Milikmu adalah segelas besar dengan asap yang juga mengepul dan butiran-butiran keringat meleleh di dindingnya. Juga pekat namun masih tembus pandang. Sekilas seperti minuman di hadapanku, tapi bukan. Ada sedikit buih menari-nari terombang ambing di permukaan mengikuti ayunan tangan sang pemilik gelas. Kuseruput pelan minumanku. Oh, minumanmu pun terguncang lagi. Ia mengalir membasahi bibirmu yang membiru di musim dingin dan mengguyur ujung-ujung syaraf di lidahmu yang kelu karena nikotin. Milikku juga mulai mengalir membasahi tenggorokanku, juga melalui ujung-ujung syaraf di lidah yang juga beku, rindu saling menyentuh lembut, bertaut dan berpagut. Ada

Ada apa dengan aku dan tulisan

Ada apa dengan aku dan tulisan-tulisanku belakangan ini? Kemana kata, kemana rima, kemana cerita, kemana rasa mendayu-dayu yang menguras air mata dan mengusung keagungan memulung serpih cinta? Apa iya kata-kata indah harus berpangkal rasa yang menyakitkan? Apa iya rangkaian makna harus berasal dari asa yang patah? Apa iya aku telah melewati itu semua sehingga semua perbendaharaan kata pun raib dengan mengeringnya air mata? Kalau memang iya, aku tak tahu harus sedih ataukah bahagia. Tapi aku tetap menulis, meski kini tulisanku lebih banyak tentang hari-hariku yang mungkin tak lagi puitis. Mungkin kata-kata sastra yang dalam itu terlipat diantara gurat-gurat rasa yang kini tak lagi melulu terungkap melalui tulisan tapi juga tertuang melalui sentuhan dan curahan perlakuan yang tak berkesudahan Ada apa dengan aku dan tulisan? Tetap mencinta, hanya saja bentuknya sedikit berbeda.

The hardest part

If only we don’t need any secure feeling, Maslow would not put it in the basic pyramid of human’s needs. But he eventually did, because he knows that secure feeling was very important for human beings, more importantly for their relationship with others. If we don’t need any secure feeling, we would easily trusted everyone who encountered our heart, and would always think that everything would be just fine even if we had to lose someone. If we don’t need any secure feeling, we would not be wondering. What about? … hell yeah about anything. “I just want to make sure.” Someone said the other day. “You just want to make sure that I love you, right? That I do need you, I care about you and I want you.” The other said, but it was only a heart whisper. "And if you are not sure enough that I love you, then nothing in this world can make you do." The other half heart whispered too. If we don’t need secure feeling, we would not be afraid of getting hurt as the linear consequence

In one of those days

One night, Titan was excitedly played with his new Mercedes coach bus I bought him that day. It was about seven o'clock he hadn't got his dinner. "Titan, it's dinner time. Let me prepare your dinner, okay?" "Yes, checked!" He said. Titan is still on the early stage of being bilingual, and he is a visual-oriented type of kid. A checked mark sign means okay for him, therefore he sometimes says "Checked" as in the meaning of "Okay". Then I started to prepare his meal. Tonight's menu is chicken soup and tofu croquette. Oh, I got starving as well. But it is a big no no for me to feed and eat at the same time for I would lose my appetite. But oh la la, soon as I finished preparing the meal, Titan suddenly said "Titan maunya scramble eggs aja. With cheese." Listened to what he said, I was very upset. I felt a bit tired that night and Titan needed to respect all kind of foods his mother prepared, I guess. "I have

Sekali lagi tentang cinta

Seorang perempuan terburu-buru memasuki rumah. Menaruh tas, duduk dan mengambil segelas minum dari dalam lemari es. Tak pernah rasanya ia sehaus malam ini. Dalam setiap geluguk air yang masuk ke tenggorokan, matanya pun menelan serpihan yang tersisa dari jelaga memori tentang rumah ini. Kemana mereka? Tanyanya dalam hati. Apakah aku terlalu lama di luar sehingga aku tak lagi menyadari adanya kehidupan di rumah ini? Tanyanya lagi. Lalu perempuan itu menarik nafas panjang. Terlalu lama mencari aku hingga kamu dan dia terlupakan. Katanya dalam hati. Sekarang satu sudah ketemu, tapi yang lain hilang. Seketika itu pula apa yang sudah ditemukan langsung terbang melayang.  Sendiri. Lagi. *** Seorang lelaki terus memutar filmnya, layaknya ialah sutradara sejati dan terbaik saat ini. Matanya lurus menatap ke depan seolah tertuju di satu titik. Di jari manisnya masih melingkar cincin pernikahannya dengan seorang lelaki lain yang sudah berubah menjadi seorang wanita, namun kini menghancu

ThirtyTwo

My new days of being thirty two, captured in here. Enjoy! :)