In one of those days

Aku melangkah kecil tapi cepat secepat rintik-rintik air itu mengkerayapi jemari kaki. Membuatnya dingin dan kotor dengan cipratan air kubangan yang menghitam. Nggak papa, nanti begitu sampai langsung cuci kaki; kataku dalam hati sambil menatap jemari kakiku yang mulai memucat dan bertabur pasir kehitaman.

Aku mempercepat langkahku. Dingin, bukan apa-apa. Lalu aku keluarkan selendang lebar dari dalam tas dan kubalut tubuhku. Biar hangat. Dan saat itulah teman-teman kecilku bermain, berjumpalitan di sela-sela lipatan otakku.

Kamu tahu?
Nggak.
Kamu ingin tahu?
Mungkin.
Mungkin berarti kamu nggak terlalu yakin.
Karena kalau aku yakin, aku pasti tahu. Aku pasti tahu bahwa aku tidak ingin tahu. Bodoh, kamu!

Hahaha … aku tersenyum mendengar mereka bertengkar. Lalu aku menatap ke langit biru yang gelap di atasku. Eh, maaf. Tepatnya di atas rerimbunan pohon di atasku. Dan aku terus berjalan membiarkan tubuhku tercabik hujan yang merintik di pukul tujuh pada Jumat malam. Sempurna.

Lalu kulihat kilat petir dan rembulan di balik awan. Garis tidak selamanya lurus dan lingkaran tidak selamanya penuh. Ketidaksempurnaan yang menyempurnakan malam ini.

Comments

Post a Comment