Embun Pagi














Pagi yang dingin. Dan batang-batang syaraf di otakku yang setengah beku terbata-bata berbisik kepada tungkai leherku supaya memutar posisinya; supaya kedua bola mataku tak perlu berputar demi menyapa jendela bisu di sampingku. Dia memang bisu, tapi kebisuan selalu bisa menyatakan kesungguhan. Dan benar saja. Kulihat barisan rerumputan yang menampakkan kesungguhan mereka hari ini: menolak upacara penyambutan menyongsong mentari. Bersama dengan embun pagi, mereka saling berdekatan merapatkan barisan. Berhimpitan dan bertindihan; merungkut dan menggelayut di setiap ujung rumput.

Perlahan, jariku bergerak lalu mampir ke bibir kaca yang bisu. Kupejamkan mata dan membiarkan jariku menari, merasakan setiap dingin dan kebekuan di ujung jari. Tak ingin berhenti, hingga kemudian kudengar gema kesunyiannya yang mengalun indah di telinga. Kudekatkan bibirku. Dan kubiarkan ia menyecap tetes embun yang mengkerayapi kebisuan. Dinginnya tak tertahankan, seperti bunga es yang menutupi ujung-ujung syaraf lidah dan membuatnya patah. Hingga tak mampu lagi ia merangkai kata-kata; bahkan yang paling sederhana. Aku menarik nafas panjang. Kata-kata penggambar rasa memang tak pernah sederhana.

Dan pikiranku yang setengah beku pun mencoba untuk merangkak ke belakang, menghinggapi langit semalam yang penuh kesedihan. Sedari senja langit telah menurunkan tirai gelapnya dan seketika itu pula tiba-tiba panggung banjir air mata. Tak ada lagi sandiwara. Tak ada lagi tepuk tangan, meninggalkan penonton-penonton yang menggigil kedinginan. Hingga akhirnya fajar menjelang dan bayang kaki pun menjenjang.

Pagi ini, tak nampak bunga bakung yang biasanya menebar wangi. Tak terlihat cericit burung yang sibuk bernyanyi. Tak muncul pula rama-rama yang sibuk menyedot madu muda kembang tetangga. Tak banyak yang bisa kulihat hari ini, pandanganku terhalang tirai kabut putih yang tebal. Bukan, ... warna kabut bukan putih; tapi pedih. Karena ke arah sana kamu pergi.

Dengan berat, deru nafasku yang hangat mulai menghapus jejak tari jemari. Dan perlahan-lahan tirai pun menggulung, menyisakan kabut tipis yang membubung lalu lenyap ditelan hari. Dan saat itulah mataku terbuka.

Selamat pagi.

©wulliewullie.blogspot.com

Comments

  1. Tiba masanya dimana kenyataan lebih indah dari harapan =)

    Selamat pagi!

    ReplyDelete

Post a Comment