Embun Pagi
Pagi yang dingin. Dan batang-batang syaraf di otakku yang setengah beku terbata-bata berbisik kepada tungkai leherku supaya memutar posisinya; supaya kedua bola mataku tak perlu berputar demi menyapa jendela bisu di sampingku. Dia memang bisu, tapi kebisuan selalu bisa menyatakan kesungguhan. Dan benar saja. Kulihat barisan rerumputan yang menampakkan kesungguhan mereka hari ini: menolak upacara penyambutan menyongsong mentari. Bersama dengan embun pagi, mereka saling berdekatan merapatkan barisan. Berhimpitan dan bertindihan; merungkut dan menggelayut di setiap ujung rumput. Perlahan, jariku bergerak lalu mampir ke bibir kaca yang bisu. Kupejamkan mata dan membiarkan jariku menari, merasakan setiap dingin dan kebekuan di ujung jari. Tak ingin berhenti, hingga kemudian kudengar gema kesunyiannya yang mengalun indah di telinga. Kudekatkan bibirku. Dan kubiarkan ia menyecap tetes embun yang mengkerayapi kebisuan. Dinginnya tak tertahankan, seperti bunga es yang menutupi